Menunggu Senyum Yahya
Entah kenapa aku ingin menuliskannya malam ini. Seorang
lelaki yang entah ia akan jadi apa dalam putaran hidupku. Akankah hanya akan
jadi kenangan dalam buku yang berjudul sahabat? Ataukah akan menjadi sahabat
selamanya? Aku tak tahu. Aku ragu. Aku takut kehilangan dirinya. Aku ingin
menjadi sahabatnya dan tetap akan menjadi sahabat yang akan kukenang selalu.
Aku merasa nyaman ketika bersamanya. Entah apa yang kurasa, aku tidak tahu.
Namun satu hal yang pasti aku merasa aman dan nyaman yang tidak pernah aku
dapatkan dari teman lelaki ku yang lain. Bukan berarti
aku bernafsu atau
semacamnya. Tapi rasa itu muncul tiba-tiba. Kupikir itu bukan rasa cinta
seorang kekasih, melainkan rasa cinta seorang sahabat. Memang, aku senang
mempunyai teman seorang lelaki yang bisa menjadi kakak. Sebagai seseorang untuk
berbagi namun bukan seorang kekasih tapi sebagai teman.
Terkadang aku merindukan senyumnya. Aku memang jarang bertemu
dengannya. Mungkin karena itu aku selalu merasa rindu. Rindu yang terkadang
membuatku cemburu dengan hadirnya seseorang disampingnya. Tapi kurasa rinduku
berlebihan, sampai-sampai terbawa mimpi. Aku menemukan seorang lelaki bermata
sayu. Tatapannya liar namun tetap teduh. Apalagi senyumnya. Senyumnya ini
membuat semangatku untuk hidup, terus bertambah layaknya hapeku yang lagi di
cash.
Rasa-rasanya seumur hidup aku belum pernah tersenyum seperti
yang kulakukan malam itu. senyuman yang mengakibatkan mataku nyaris tertutup
bahkan kelopak mataku sempat menyentuh bagian bawahnya, hingga terlihat menyipit.
Hanya karena senyumnya yang bisa membuat diriku tersenyum seperti itu.
Aku tak tahu. Semuanya terjadi begitu saja. Hanya waktu yang
akan terus berputar dan akan menunjukkan siapa sebenarnya dirinya dalam
hidupku. Di depannya aku merasa berharga. Aku suka dengan gaya lelaki yang
bersikap seperti itu di depan perempuan. Ramah, sopan, dan aku baru sadar, apa
memang dia selalu bersikap seperti itu pada perempuan?
Perasaanku tak menentu. Hanya saja aku terpana dan terkesima
serta dibuat takjub olehnya. Sesosok Yahya bisa membuatku seperti ini. Iya,
namanya Yahya. Aku mengenalnya saat seminar nasional yang diselenggarakan oleh universitas.
Disanalah aku bertemu Yahya. Berperawakan tinggi besar, berkulit sawo matang agak gelap, dengan senyumnya yang manis. Namun sayangnya,
aku tak melihat senyum manisnya kala itu, meskipun berkali-kali dia tersenyum.
Aku malah menyibukkan diriku pada sesosok Ali. Entah magnet apa yang menarikku
hingga aku nyaris selalu memperhatikannya. Terlalu sibuk aku memikirkan cara
untuk bisa dekat dengan dia hingga aku tak tahu ada orang lain yang kini jadi
akrab. Yang menurutku baik, belum tentu menurut Allah juga baik.
Tapi aku mulai sadar mungkin aku terlalu berlebihan. Aku
terlalu cepat menyimpulkan. Bukan. Bukan itu. Aku hanya teman dan hubunganku
hanya teman dengannya. Dan memang itu yang aku harapkan.
Ketika malam semakin mencekam, kendaraan yang berlalu lalang
pun seakan menghentikan aktivitasnya. Aku mulai untuk tidak selalu menunggu
senyumnya. Tapi apa daya. Senyumnya membuat duniaku ikut tersenyum. Aku belum
mengantuk. Padahal tadi siang aku juga tak merasakan nyenyak dalam tidur.
Hatiku masih gelisah. Sementara angin malam bergembira mempermainkan anak
rambut yang menyembul di sela jilbabku. Aku menyandarkan tubuhku pada sandaran
kursi. Otakku masih terus melukis senyum kecil di bibirnya. Sedangkan hatiku
diam, tenang, tidak seperti biasanya yang selalu gaduh. Namun kali ini, hatiku
benar-benar tenang seakan menyimpan sejuta kebahagiaan. Atau mungkin lebih
karena pertemuan kala itu. Pertemuan yang tidak disengaja membuatku untuk tidak
melupakannya. “Yahya”, ucapnya saat perkenalanku dengannya. Sementara
jari-jariku seakan menemukan huruf-huruf yang berserakan lalu mengurutkannya
dan menempelnya bak puzzle di tempat
yang disediakan oleh laptop. Membentuk sebuah rangkaian indah kalimat-kalimat
ajaib yang tanpa sengaja pula tertulis olehku.
Sebentar kemudian aku menghentikan kegiatanku. Tak lupa pula
aku menekan ctrl+s sebagai tanda aku mengakhiri cerita. Belum sempat aku
menutup laptop, hapeku berbunyi. Pesan masuk. “siapa? Malam-malam begini kirim
sms”, pikirku. Aku meraihnya di atas meja dengan malas. Setelah kutekan tombol
kunci, aku membaca siapa pengirimnya dan tidak segera membaca pesan apa yang
dikirim. Rasa malasku menguap begitu saja digantikan oleh semangat yang
menggelora. Dengan senyum yang entah apa sebab dia muncul, kubaca nama
pengirimnya. “From: Yahya”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar