My Trip (Madiun, East Java) – Hari
Pertama
Siap-siap. Kereta mau
berangkat. Tepat 09.35 WIB aku dan bos Ririn meluncur menuju Madiun. Dengan
kereta api bisnis yang tanpa sengaja dipilih akhirnya keinginan kami sebentar
lagi akan terlunasi. Madiun menjadi lokasi jj (jalan-jalan) pertama kami dan
kereta api sarangan menjadi kereta pertama yang aku naiki. Ternyata begini
rasanya naik kereta. Lumayan nyaman sih.. daripada naik bus, aku harus
menanggung mual dan muntah. Tak lupa juga kami mengabadikan dua foto imut milik
kami (pisss).
Dalam perjalanan, aku
masih sibuk berkutat pada tulisan ini. Sesekali mengarahkan pandangan ke
jendela. Melihat pohon, rumah, tempat ibadah, gedung, dan aneka fly over yang segera tertinggal di
belakang. Sementara bos Ririn sibuk pula dengan tablet barunya hehe maklum
masih baru. Sesekali pula kami ngobrol dengan selingan canda tawa.
Beberapa stasiun
dilewati. Akhirnya aku menyerah. Aku ingin
terlelap. Memejamkan mata sambil
terus merekam khayalan. Hehe kebiasaan lama. Detik-detik menuju pusat kota
madiun. sangat asing, ketika mulai menghirup udara kota madiun. Hamparan sawah
begitu luas. Berkelok-kelok di jalur pegunungan. Sayangnya musim kemarau
memaksa sawah agar tidak bisa menumbuhkan tanaman-tanaman. Tanah-tanah sawah
pada kering. Menganga seperti kelaparan dan kehausan akan siraman hujan.
12.37 WIB. Kami tiba
di stasiun Madiun. Disambut dengan meriah oleh bapak-bapak ojek dan taksi.
Banyak sekali orang-orang di jalan yang menyapa kami, “becak mbak?” Sapaan
mereka hanya kami jawab dengan gelengan kepala atau hanya lambaian tangan. Kami
meminta bantuan pada anaknya mbah google,
google map namanya. Akhirnya sesuai petunjuk yang diberikan oleh google map, kami terus saja berjalan.
Berbagai gedung kami lewati. Mulai dari depan stasiun yang berlokasi di Jln. Kompol
Sunaryo, kami berjalan terus arah kiri yang terdapat kantor pos Madiun. Lalu
kami berjalan terus hingga menemukan taman makam pahlawan di Jalan Pahlawan.
Aku sempat heran dengan keadaan jalanan di Madiun. Sepi. Kendaraan seperti
enggan untuk lewat. Kontras sekali dengan Surabaya yang ramai dan macet.
Sebenarnya tujuan
kami siang itu adalah sholat dhuhur di masjid agung Madiun dan makan siang di
warung dekat alun-alun. Di depan terdapat papan penunjuk yang menyarankan kami
agar belok kanan. Kami menurutinya. Setelah menempuh perjalanan selama beberapa
meter, terlihat banyak warung disana. Pasti itu alun-alun. Gerobak penjual
makanan seperti oase di tengah gurun. Kami pun mampir sebentar untuk memesan es
kelapa muda. Alhamdulillah, dahaga terpuaskan.
Pukul setengah dua ,
kami ke masjid agung yang terletak di sebelah barat alun-alun. Hehe kalau tidak
salah, sebab kami bingung arah mata angin di tempat asing. Masjidnya bernama
masjid Baitul Hakim. Didominasi warna biru muda. Masjidnya tidak begitu besar
bila dibandingkan dengan masjid agung di Surabaya. Tapi masjid ini tetap ramai
oleh pengunjung. Kebanyakan masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar kota Madiun.
Setelah sholat
dhuhur, kami membidik pose imut kami. Hehe. Tentunya dengan background masjid
agung Madiun. Habis itu, memanjakan perut dulu ke penjual makanan dekat
alun-alun. Awalnya kami bingung memilih menu. Akhirnya batagor dan es campur menjadi
pilihanku. Sedangkan bos Ririn hanya memilih es blewah. Kami pun mencari duduk
di gelaran yang telah disediakan di sekitar alun-alun.
“Mbak, makan”.
“Oh ngge”, jawabku sambil tersenyum.
Lalu aku memilih duduk tidak jauh dengan orang yang menyapa tadi, sementara bos
Ririn memesan minumannya. Kulirik orang yang tadi menyapaku. Ia juga pesaan
batagor, tapi beda penjual. Sesekali ia bercanda dengan orang di sebelahnya.
Sepertinya sangat akrab, mungkin temannya. Aku tak terlalu ambil pusing.
Sebentar kemudian pesananku datang, bos Ririn juga sudah sejak tadi duduk di
sebelahku. Aku menyendok batagor dan beberapa kali menawarkan pada bos Ririn
yang hanya dijawab dengan anggukan. Ia tampak sibuk dengan tabletnya, dengan
bbm masuk dan entah apa yang ia tulis.
Tanpa kusangka,
lelaki yang menyapa tadi kembali menyapa. Dilihat dari logat bicaranya, orang
itu bukan asli daerah sini. Kami pun meladeni apa yang ditanyakannya. Akhirnya
kuketahui mereka berdua bukan asli warga sini. Aku jadi teringat saat awal
menyapa tadi. Aku menjawabnya dengan bahasa Jawa, “ngge”. Entahlah, apa orang
itu mengerti atau tidak. Setelah diketahui ternyata mereka asli Tangerang yang
dipindah tugaskan ke Madiun oleh perusahaan dimana mereka bekerja. Perusahaan
bisnis property dan mereka berdua
adalah seorang marketing. Orang yang menawari makan tadi menyerahkan kartu
namnaya pada kami. Kami pun menerimanya. Menit berikutnya, kami terlibat
obrolan yang tidak terlalu bosan, bahkan sempat jeprat jepret bersama orang ‘asing’
itu.
Orang ‘asing’ yang
menyapa pertama kali itu berinisial AF. dilihat sepintas kira-kira usianya
sekitar 26 tahunan lah. Sementara temannya hampir sama. Hanya saja kami
mengetahui namanya belakangan. Kami berdua cepat akrab. Bahkan ketika kami
berencana pergi ke klenteng sore ini, AF menawari untuk mengantar kami. Katanya
sih pingin nostalgia hobinya. Akhirnya kami bertiga jalan kaki menuju klenteng,
sementara teman AF tidak ikut bersama kami.
Saat itu pukul setengah 4.
Beberapa meter dari
alun-alun, kakiku limbung, jatuh deh aku. Entah siapa yang menaruh pasir di
pinggir jalan. Aku terjatuh dan tas kameraku pun jatuh ke tanah. Aku langsung
beranjak berdiri, sementara tas kameraku dibawa oleh AF.
Setiba di klenteng,
kami minta izin pada pak satpam penjaga klenteng. Alhamdulillah pak satpam
mengizinkan kami masuk dan berfoto ria, asalkan tidak boleh masuk ke tempat
peribadatan. Kami juga diajak pak satpam melihat anak-anak latihan barongsai di
halaman yang tidak terlalu luas milik klenteng. Seru juga melihat mereka
latihan. Di sekitar halaman terdapat bangunan khas cina alias budayanya
konghuchu. Wah bangunannya bagus. Seperti berkunjung ke cina yang penuh dengan
kuil-kuil tingginya. Ada kolam juga disana. Diatasnya dibangun layak jembatan
seperti di film-film. Terdapat pula lukisan hewan serta tumbuhan di dinding
taman. Mereka tampak nyata. Bagus sekali. Seperti kebiasaan turis, ketika ada
obyek yang bagus, tidak puas kalau tidak berpose di depannya. Lalu jeprat
jepret deh.. AF jadi fotografer dadakan. Hehe. Habis kagak mau difoto. Ya sudah
jadi relawan fotografer. Hehe pisss..
Aku melihat jam
analog di hapeku. Setengah lima. Waduh belum sholat asar. Aku dan bos Ririn
saling tatap.
Kami juga sempat
ngobrol dengan pak satpam serta penjaga klenteng yang lain. AF malah presentasi
kerjaan di depan mereka (Dasar marketing). Hehe. Dari obrolan itu, aku jadi
lumayan akrab sama pak satpam. Ternyata beliau mengenal UNESA saat masih jadi IKIP.
Bahkan beliau mengenal dosen-dosennya waktu itu. Wajar saja dulu beliau menjadi
tentara dan latihannya di dekat IKIP, begitu katanya. Setelah aku mengatakan
kalau aku asal Gresik dan tepatnya di kecamatan Benjeng, dia juga bercerita
pernah kesana. Latihan tentara katanya. Beliau bilang daerahku itu dulu adalah
alas alias hutan. Tak terasa obrolan singkat itu sangat berkesan. J
Beberapa menit
kemudian kami pamit. Awan mendung siap menyongsong kami. Siap mengguyur hujan
sekarang juga. Awalnya hanya gerimis. Tapi lama-lama awan itu memuntahkan air
yang ada dalam perutnya. Agak deras. Kami mencari masjid terdekat. Kami
mengikuti AF yang lumayan tahu daerah itu, meski baru tiga minggu ia dan
temannya di Madiun, maklum dekat dengan kantor tempat ia bekerja. Setelah
beberapa meter berjalan, kami menuju masjid yang bernama Siti Maryam. Masjidnya
tidak terlalu besar, tapi lumayan bagus untuk ukuran masjid di kompleks pusat
kota. Masjid berwarna blewah itu segera menjadi tempat kami sholat asar
sekaligus tempat berteduh.
Tanpa kuduga, AF
pamit pulang ke kantornya bahkan sebelum kami sholat. Katanya dari situ, jarak
menuju kantornya cukup dekat. Ia juga menawarkan pada kami, mungkin saja ingin
mampir ke kantornya. Kami membalasnya dengan anggukan dan pesan agar
berhati-hati.
Setelah ambil wudlu,
kami sholat asar yang setengah jam kemudian waktu asar akan habis. Usai sholat
asar, lapar dan haus melanda. Akhirnya kami memutuskan mencari warung dekat
masjid sekedar makan dan minum. Ketika kami menemukan warung, kami memesan
minuman. Ternyata warung ini hanya menyediakan mi instan. Kami mengurungkan
niat membeli makanan. Sambil menikmati minuman yang kami pesan, kami
beristirahat sekaligus berteduh dari hujan yang semakin deras. Kami berniat
untuk kembali ke masjid Siti Maryam.
Berangsur-angsur
hujan mulai reda. Kami berjalan menuju masjid Siti Maryam dan sholat maghrib
disana. Bos Ririn menunggu temannya yang asal Madiun. Katanya dia mau datang.
Kami menunggunya di masjid. Hujan mulai deras lagi. Untung saja teman bos Ririn
sudah tiba di masjid. Setelah sholat isya dan berkemas, kami ngobrol dengan
teman bos Ririn. Tak lupa juga kami memberondong pertanyaan dimana
tempat-tempat yang akan kami kunjungi padanya. Ia menjelaskan satu per satu
beserta lokasinya. Beberapa menit kemudian obrolan berakhir. Lampu masjid
ssebentar lagi dimatikan. Lagipula tidak enak dengan masyarakat sekitar, kan
kami hanya pendatang. Apalagi teman si bos laki-laki. Sedangkan kami berdua
perempuan.
Rumah teman bos Ririn
letaknya lumayan jauh dari kota dan kami tidak punya niat untuk bermalam di
rumahnya. Sebenarnya kebetulan tadi teman bos Ririn lagi ada di kota, ada acara
katanya.
Kami berpisah setelah
hujan benar-benar reda. Kami pun berjalan kaki mencari warung yang menjual
makanan. Sekitar ratusan meter kami berjalan dan menemukan sederet warung di tepi
jalan. Kami memasuki salah satu warung yang menjual nasi goreng. Kami memesan
dua porsi nasi goreng. Aku memilih nasi goreng ayam dan bos memilih nasi goreng
babat. Jangan ditanya minumnya apa. Pastilah es teh dan teh hangat.
Malam ini kami
berencana mengunjungi Masjid Kuno Taman sekaligus beristirahat disana. Kami
pikir tidak ada salahnya sebab kata mbah google,
masjid ini juga termasuk wisata. Kami membuka google map untuk mencari lokasi masjid kuno Taman. Awalnya kami
harus pergi dulu ke daerah Taman. Jalan yang harus kami lewati adalah jalan
Progo. Melihat kondisi jalan Progo yang sempit dan gelap, sementara di depan
gangnya terlihat papan penunjuk tempat karaoke “Kimara” yang juga berada di
wilayah jalan yang akan kami lewati. Kami mengurungkan niat. Lalu kami bertanya
pada seorang tukang parkir di sebuah warung makan. Kami mengikuti petunjuknya.
Namun karena kami tidak menemukan apa yang dimaksud pak parkir, kami mengikuti
petunjuk google map sekali lagi. berdasarkan
saran google map, kami menuju jalan Musi.
“Semoga tak salah jalan”, terdengar suara hatiku entah dari sebelah mana. Kami
terus saja berjalan. Lampu-lampu didepan klub-klub malam mulai dinyalakan. Kami
terus saja melanjutkan perjalanan. Tak peduli dengan kiri dan kanan. Apalagi
bapak parkir genit yang menyapa kami. Kami takut. Kami memaksa kaki kami untuk
melangkah dengan cepat. Setelah agak jauh dari tempat tersebut, kami
memperlambat langkah. Kami menemukan jalan Tanjung. Aku kaget menemukan papan
penunjuk tempat karaoke “Kimara”.
“Bukankah tempat karaoke yang ditunjuk
oleh penunjuk jalan di jalan Progo tadi?”, tanyaku pada bos. Bos hanya
menggeleng tidak tahu. Astaghfirullah, aku sadar. Ternyata sedari tadi kami
berdua hanya memutar. Tak apalah. Kami melanjutkan perjalanan. Kami menuju
jalan Mangga, jalan desa. Kami memasukinya. Kami berjalan terus hingga menemukan
jalan Kemiri. Sementara terbaca oleh kami di seberang sana, jalan Asahan. Kami
belok ke jalan Kemiri. Karena haus, kami mampir ke sebuah toko membeli air
mineral dua botol.
Kami terus saja
berjalan sambil melihta kanan kiri. Dimana masjid kuno Taman? Kami belum
menemukannya. Akhirnya kami sepakat untuk beristirahat di masjid manapun. Kami
terlalu lelah apalagi dengan ransel yang bertengger di pundak. Tidak lama
kemudian, kami menemukn masjid dengan pagar tak dikunci. Masjid Al Hidayah.
Disinilah kami beristirahat malam pertama di Madiun. Saat itu pukul 21.13. Aku
memejamkan mata. (Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar