My
Trip (Madiun, East Java) – Hari Ketiga
01.00 dini hari, kami
dibangunkan oleh penjaga masjid. Jawaban kami tetap sama. Mau pulang tetapi
kehujanan, jadi tertunda. Bapak penjaga itu meminta KTP kami. Kami pun menyerahkannya.
Kemudian bapak penjaga menyuruh kami agar kembali tidur. Kami baru bangun pukul
03.38 WIB. Seorang perempuan setengah baya mengagetkan kami. Ia ramah menyapa
kami. Akhirnya kami pun tidak melanjutkan tidur lagi. Kami segera ambil air
wudlu. Sebentar lagi shubuh. Setelah itu kami berkemas. Pukul 04.37 WIB kami
mencari bapak penjaga yang mengambil KTP kami. Kebetulan kami bertemu di depan
masjid. KTP kami baik-baik saja. Kami pamit dan bergegas pergi menuju
alun-alun. Sepagi itu alun-alun sudah mulai menampakkan keramaiannnya. Para
penjual aneka makanan dan jajanan segera membuka dagangannya. Rencana untuk ke car free day kami urungkan. Kami sedari
tadi hanya duduk-duduk di tempat kami duduk tadi malam. Sesekali aku menguap
dan ingin melanjutkan tidur. Bos Ririn mengajakku kembali ke masjid untuk cuci
muka dan cari makan. Sebenarnya aku enggan untuk kembali ke masjid. Mereka
semua pasti melihat ke arah kami. Gara-gara kami tidur di masjid semalam.
Hufft..
Tuh kan bener, saat
giliran aku cuci muka,
bos Ririn yang ditanyai sama bapak penjaga masjid lainnya. Setelah selesai urusan di masjid, kami menuju sebuah tempat jualan nasi. Kami memesan dua porsi nasi kuning. Entah apa sebab pagi itu kami menginginkan nasi kuning. Karena hari itu hari terakhir di Madiun, kami tidak ada rencana melanjutkan perjalanan lagi. Kecuali jalan menuju stasiun. Kereta kami berangkat sekitar pukul 14. Jadi masih kurang sekitar enam jam lagi. Saat ini pukul 08.00 WIB. Sebenarnya pagi ini pas banget kalo mau foto-foto. Tapi bos Ririn mengeluhkan kakinya yang pegal. Kakiku juga pegal sih.. tapi aku masih kuat kalo seandainya tadi bos Ririn tidak mengeluhkan kakinya. Akhirnya kami hanya duduk-duduk di pondasi tepi jalan yang dekat dengan colokan. Biasa, ngecash hape. Bos Ririn sibuk dengan tab nya. Sesekali ia juga sempat membuka buku yang dibelinya di bazaar kemarin. Begitu pula aku. Aku membuka lembaran demi lembaran bukuku dengan malas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “bos, katanya mau menghubungi si AF? jadi nggak?”, tanyaku pada bos. Sebenarnya kami mau menghubunginya tadi malam. Tapi kami mengurungkannya dan akan menghubungi pas car free day saja, sekalian pamit pulang.
bos Ririn yang ditanyai sama bapak penjaga masjid lainnya. Setelah selesai urusan di masjid, kami menuju sebuah tempat jualan nasi. Kami memesan dua porsi nasi kuning. Entah apa sebab pagi itu kami menginginkan nasi kuning. Karena hari itu hari terakhir di Madiun, kami tidak ada rencana melanjutkan perjalanan lagi. Kecuali jalan menuju stasiun. Kereta kami berangkat sekitar pukul 14. Jadi masih kurang sekitar enam jam lagi. Saat ini pukul 08.00 WIB. Sebenarnya pagi ini pas banget kalo mau foto-foto. Tapi bos Ririn mengeluhkan kakinya yang pegal. Kakiku juga pegal sih.. tapi aku masih kuat kalo seandainya tadi bos Ririn tidak mengeluhkan kakinya. Akhirnya kami hanya duduk-duduk di pondasi tepi jalan yang dekat dengan colokan. Biasa, ngecash hape. Bos Ririn sibuk dengan tab nya. Sesekali ia juga sempat membuka buku yang dibelinya di bazaar kemarin. Begitu pula aku. Aku membuka lembaran demi lembaran bukuku dengan malas. Tiba-tiba aku teringat sesuatu. “bos, katanya mau menghubungi si AF? jadi nggak?”, tanyaku pada bos. Sebenarnya kami mau menghubunginya tadi malam. Tapi kami mengurungkannya dan akan menghubungi pas car free day saja, sekalian pamit pulang.
Lalu, aku memencet
beberapa digit nomor yang tertera di kartu nama yang ‘orang asing’ itu berikan.
Mengirimkan pesan padanya. Dijawab dengan miscall
beberapa kali. Gile. Aku tahu maksudnya. Aku harus telpon balik. Ya maaf aja,
nggak bisa telpon balik. ‘Orang asing’ itu kemudian menelponku. Menanyakan
keberadaan kami. Satu menit kemudian, ia menemukan kami. AF mengajak kami ke
kantornya. Kami boncengan tiga naik motor. Setelah melewati beberapa gang, kami
sampai. Jam analog hapeku menunjukkan pukul 09.43 WIB. Kantornya tidak terlalu
besar hanya saja bentuknya memanjang. Terdiri dari dua lantai. Lantai satu
didesain seperti ruang kerja tapi santai. Kamar mandi ada di lantai satu di
bawah tangga. Sementara lantai dua kosong, hanya ada dua kasur persis seperti
kos-kosan. Hanya saja lebih luas. Di dindingnya terdapat jendela yang cukup
untuk mengatur ventilasi udara. Tampak disana cantolan-cantolan baju yang
dipajang. Persis sis seperti kos-kosan.
Kami juga bertemu
dengan teman AF kemarin yang pertama kali bertemu di alun-alun. Kami ngobrol
sebentar. Aku terlibat pembicaraan yang agak serius dengan AF. Aku tanya-tanya
tentang perusahaan, dan AF menjawab sesuai keingintahuanku. Kami bercerita
lumayan banyak. Bahkan AF sempat cerita saat dulu cari kerja. Ia juga
membeberkan motto hidupnya. Sedangkan aku hanya mengikuti alur. Ketika topiknya
pekerjaan, aku bercerita tentang pengalamanku yang pernah melamar kerja,
keinginanku untuk jadi wartawan, dan sebagainya. Topiknya berubah, aku juga
mengikutinya. Sebentar kemudian kami membahas tentang dunia tulis menulis. Ia
cerita punya teman yang bukunya udah terbit, gimana temannya itu bisa nerbitin
dan masih banyak lagi.
Ketika itu, bos Ririn
lagi asyik main game di laptop kerjanya AF. Sementara teman AF sejak tadi sudah
kembali ke lantai dua. Entah apa yang dia kerjakan. Sepertinya tidur. AF
mengajak kami makan pecel khas Madiun di warung depan kantornya. Selama ada
yang gratis, kenapa tidak?? Hehe.
Entah apa yang di
pikiran AF, ia mencarikan becak untuk kami, setelah kami menceritakan rencana
naik becak ke stasiun. Ia juga menawari kami tempat untuk sholat dhuhur. Kami
mengiyakannya. Akhirnya sholat dhuhur kami siang itu di kantor AF. Tepat pukul
setengah satu siang, becak sudah siap. Kami pamit. Dengan naik becak, kami
menuju stasiun yang jaraknya lumayan jauh, tapi tarif lumayan murah
dibandingkan dengan di Surabaya. Eh AF juga ikut mengantarkan kami. Ia naik
motor menuju stasiun. Entah apa yang dipikirannya. Dari kemarin dia membantu
kami. Bahkan hingga kami mau balik ke Surabaya, ia sempat mengantar kami sampai
stasiun. “Biar nanti kalo ke Surabaya, ada yang nemenin dan bantuin”, begitu
jawabannya ketika bos Ririn memuji kebaikannya. Entahlah aku tak tahu.
13.30 WIB. Kereta
berjalan menjauhi stasiun Madiun menuju stasiun berikutnya dengan tujuan
terakhirnya, Gubeng Surabaya. Good bye..
Madiun. Aku sempat menulis beberapa kalimat terakhir untuk kota kecil Madiun,
sebagai perpisahan kami dengan kota ini.
“Banyak
kenangan dan banyak hal yang tak terduga terjadi di setiap langkah perjalanan.
Di setiap napas yang dihembuskan dan membuat kita tak bisa berkata apa-apa.
Selamat tinggal Madiun..”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar