Utang
Melalui tulisan ini, aku
mengingatkanmu bahwa kau punya utang padaku. Utang tiga ratus ribu rupiah yang
belum kau bayar sampai saat ini, sampai aku mau wisuda. Kapan akan kau lunasi?
Jangan sampai hanya gara-gara utang aku membencimu dan menghapusmu dari daftar
list nama-nama teman yang kumiliki.
Awalnya aku tak ragu meminjamkan uang tiga
ratus ribu padamu. Aku percaya kau akan mengembalikannya sesuai jumlahnya dalam
jangka waktu yang telah kita sepakati. Namun saat itu kau meminta tenggat waktu
beberapa hari lagi karena kau masih belum bisa membayar. Aku memakluminya. Maka
dengan gampangnya aku mengiyakan. Kau tahu apa yang aku pikirkan kala itu?
aku
kasihan terhadapmu. Aku tahu, karena kita sama-sama mendapat beasiswa dari
pemerintah, aku merasa kita senasib, maka dengan mudah aku meloloskan tiga
ratus ribu buatmu.
Aku telah mencatatnya di
daftar utang piutang milikku. Namamu menjadi nama paling atas. Kepercayaan yang
ku berikan telah engkau sia-siakan hingga akhirnya menempatkan namamu pada
peringkat atas. Kapan kau akan membayarnya?
Aku sadar. Mungkin kau belum punya uang.
Lagipula uang beasiswa belum kunjung cair. Aku juga tahu di jurusanmu lebih
membutuhkan uang banyak daripada di jurusanku. Tapi mengapa tidak ada kabar
darimu sama sekali? Aku mulai curiga.
Kesibukan yang menderaku membuatku lupa
tentang utangmu. Namun ketika beasiswa cair, aku menghubungimu. Ternyata
nomormu tidak aktif. Aku menghubungi salah seorang teman yang menurutku dia
mengenalmu. Alhamdulillah dia mengenalmu. Sayangnya dia berkata bahwa tidak mau
lagi berurusan denganmu. Setelah aku menceritakan hal ihwal kejadiannya, ia
hanya bisa berkata, “aku juga bernasib sama sepertimu. Berhari-hari aku
menagihnya. Tapi syukurlah utangnya sudah dilunasi. Aku tak mau berurusan lagi
dengannya. Maaf aku tak bisa bantu”. Jawaban itu membuat diriku tak percaya.
“apa aku kena tipu?”, pikirku. Lalu aku meminta bantuan pada teman-temanku yang
sama-sama jurusan denganmu.
Perjuanganku untuk mendapat
nomormu kembali. Aku langsung menghubungimu. Rencananya aku akan menemuimu di
kampus, tapi aku cancel. Aku sadar,
aku tidak tahu menahu letak ruangan, kelas, atau bahkan jurusanmu. Satu orang
pun tak kukenal. Aku memang punya kenalan tetapi tidak satu jurusan denganmu.
Hanya saja mereka sefakultas denganmu.
Setelah aku mencoba
mengirim sms ke nomor yang diberikan temanmu pada temanku yang aku mintai
pertolongan, akhirnya kau membalasnya. Kau bilang, kau berniat untuk membayar.
Tapi kau kehilangan kontakku. Apa susah mencarinya? Bukankah kau juga tahu
lokasi kosku? Berbeda denganku yang tidak tahu tentang dirimu bahkan tempat
kosmu. Logikanya, kalau memang benar-benar niat mengembalikan, pastinya kau
mengunjungi kos ku. Teman-temanku yang tahu masalah utang ini menyalahkanku
akibat kecerobohan yang aku ciptakan. Tapi biarlah apa yang mereka ucapkan, toh
memang benar aku yang salah. Mengapa aku mudah saja meloloskan tiga ratus ribu
pada orang yang belum terlalu banyak dikenal. Asal kau tahu, aku membantumu
karena aku percaya dan kita senasib. Satu lagi alasan mengapa aku percaya.
Karena kau perempuan.
Akhir-akhir ini, ada lagi
yang berhutang kepadaku. Seorang lelaki. Lelaki ini juga aku kenal saat
pelatihan kampus. Berbeda fakultas denganku. Aku memang sering berhubungan
dengannya. Sms, facebook, dan bbm. Bahkan aku pernah jalan bareng bersamanya.
Ketika dia bertanya apa aku bersedia meminjamkan tiga ratus ribu, aku
mikir-mikir. Jangan sampai pengalaman utang masa lalu terulang kembali. Aku
bingung. Utang ini sangat dilematis. Aku nggak enak kalau tidak membantunya,
sebab aku telah dekat dengannya. Tapi apa dia bisa dipercaya? Entahlah apa yang
berkecamuk dalam otakku kala itu, aku pun meloloskan tiga ratus ribu untuknya.
“semoga dia bisa dipercaya”, harapku.
Ketika tenggat waktu yang
telah disepakati habis, dia menghubungiku. Dia berniat akan membayarnya. Tapi
malam memaksaku untuk menunggunya esok hari. Dia akan mampir ke kos ku esok
pagi. Tiba-tiba karena suatu hal, dia tidak bisa membayarnya langsung. Dia
menawarkan bagaimana kalau ditransfer. Aku menyetujuinya. Karena ATM yang
kumiliki tidak sama dengan milinya, nomor rekening temanku segera kukirimkan
padanya, tentunya aku sudah izin terlebih dulu kepada pemiliknya.
Hari itu tidak kunjung ia
kirim. Aku mulai gelisah. Malamnya dia menghubungiku. Katanya, “besok ya. Maaf
tadi aku tidak sempat”.
“Benarkah yang kau ucapkan?”, kataku tidak
percaya.
“Iya benar. Aku janji”.
“Baiklah. Aku tidak ingin terulang
kembali”, jawabku.
Aku berpesan pada temnaku, agar mengecek
tabungannya apakah utangku sudah dibayar. Sore hari, ia mengeceknya. “Dia sudah
mengirim”, katanya mengonfirmasi. “Terima kasih”, sahutku singkat.
“Teryata dia bisa dipercaya. Terkadang
ucapan janji seorang lelaki lebih bisa dipercaya dari perempuan.”, gumamku
setelah mendapat informasi dari temanku pemilik ATM yang sama dengan teman
utangku.
Sampai saat ini aku terus
menghubungi tiga ratus ku yang masih dalam dompetnya. Terakhir dia bilang akan
segera membayarnya. ketika beberapa hari yang telah ia tentukan sendiri, dia
tidak menghubungiku sama sekali. Astaghfirullah. Aku mencoba menghubunginya.
Tapi jawaban tak pernah kudapat.
Aku lelah. Siapa dia
sebenarnya? Aku masih mencatat namanya. Tentu saja tetap menjadi peringkat
atas. Dan sewaktu-sewaktu setiap saat aku terus menghubunginya sampai detik
ini.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusbenar sekali...
Hapuskarena kepercayaan yang mahal pula, apa kita akan memberikannya pada sembarang orang?
gmn menurut akhi?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus