Sabtu, 14 November 2015

Utang

Melalui tulisan ini, aku mengingatkanmu bahwa kau punya utang padaku. Utang tiga ratus ribu rupiah yang belum kau bayar sampai saat ini, sampai aku mau wisuda. Kapan akan kau lunasi? Jangan sampai hanya gara-gara utang aku membencimu dan menghapusmu dari daftar list nama-nama teman yang kumiliki.
Awalnya aku tak ragu meminjamkan uang tiga ratus ribu padamu. Aku percaya kau akan mengembalikannya sesuai jumlahnya dalam jangka waktu yang telah kita sepakati. Namun saat itu kau meminta tenggat waktu beberapa hari lagi karena kau masih belum bisa membayar. Aku memakluminya. Maka dengan gampangnya aku mengiyakan. Kau tahu apa yang aku pikirkan kala itu?
aku kasihan terhadapmu. Aku tahu, karena kita sama-sama mendapat beasiswa dari pemerintah, aku merasa kita senasib, maka dengan mudah aku meloloskan tiga ratus ribu buatmu.
Aku telah mencatatnya di daftar utang piutang milikku. Namamu menjadi nama paling atas. Kepercayaan yang ku berikan telah engkau sia-siakan hingga akhirnya menempatkan namamu pada peringkat atas. Kapan kau akan membayarnya?
Aku sadar. Mungkin kau belum punya uang. Lagipula uang beasiswa belum kunjung cair. Aku juga tahu di jurusanmu lebih membutuhkan uang banyak daripada di jurusanku. Tapi mengapa tidak ada kabar darimu sama sekali? Aku mulai curiga.
Kesibukan yang menderaku membuatku lupa tentang utangmu. Namun ketika beasiswa cair, aku menghubungimu. Ternyata nomormu tidak aktif. Aku menghubungi salah seorang teman yang menurutku dia mengenalmu. Alhamdulillah dia mengenalmu. Sayangnya dia berkata bahwa tidak mau lagi berurusan denganmu. Setelah aku menceritakan hal ihwal kejadiannya, ia hanya bisa berkata, “aku juga bernasib sama sepertimu. Berhari-hari aku menagihnya. Tapi syukurlah utangnya sudah dilunasi. Aku tak mau berurusan lagi dengannya. Maaf aku tak bisa bantu”. Jawaban itu membuat diriku tak percaya. “apa aku kena tipu?”, pikirku. Lalu aku meminta bantuan pada teman-temanku yang sama-sama jurusan denganmu.
Perjuanganku untuk mendapat nomormu kembali. Aku langsung menghubungimu. Rencananya aku akan menemuimu di kampus, tapi aku cancel. Aku sadar, aku tidak tahu menahu letak ruangan, kelas, atau bahkan jurusanmu. Satu orang pun tak kukenal. Aku memang punya kenalan tetapi tidak satu jurusan denganmu. Hanya saja mereka sefakultas denganmu.
Setelah aku mencoba mengirim sms ke nomor yang diberikan temanmu pada temanku yang aku mintai pertolongan, akhirnya kau membalasnya. Kau bilang, kau berniat untuk membayar. Tapi kau kehilangan kontakku. Apa susah mencarinya? Bukankah kau juga tahu lokasi kosku? Berbeda denganku yang tidak tahu tentang dirimu bahkan tempat kosmu. Logikanya, kalau memang benar-benar niat mengembalikan, pastinya kau mengunjungi kos ku. Teman-temanku yang tahu masalah utang ini menyalahkanku akibat kecerobohan yang aku ciptakan. Tapi biarlah apa yang mereka ucapkan, toh memang benar aku yang salah. Mengapa aku mudah saja meloloskan tiga ratus ribu pada orang yang belum terlalu banyak dikenal. Asal kau tahu, aku membantumu karena aku percaya dan kita senasib. Satu lagi alasan mengapa aku percaya. Karena kau perempuan.
Akhir-akhir ini, ada lagi yang berhutang kepadaku. Seorang lelaki. Lelaki ini juga aku kenal saat pelatihan kampus. Berbeda fakultas denganku. Aku memang sering berhubungan dengannya. Sms, facebook, dan bbm. Bahkan aku pernah jalan bareng bersamanya. Ketika dia bertanya apa aku bersedia meminjamkan tiga ratus ribu, aku mikir-mikir. Jangan sampai pengalaman utang masa lalu terulang kembali. Aku bingung. Utang ini sangat dilematis. Aku nggak enak kalau tidak membantunya, sebab aku telah dekat dengannya. Tapi apa dia bisa dipercaya? Entahlah apa yang berkecamuk dalam otakku kala itu, aku pun meloloskan tiga ratus ribu untuknya. “semoga dia bisa dipercaya”, harapku.
Ketika tenggat waktu yang telah disepakati habis, dia menghubungiku. Dia berniat akan membayarnya. Tapi malam memaksaku untuk menunggunya esok hari. Dia akan mampir ke kos ku esok pagi. Tiba-tiba karena suatu hal, dia tidak bisa membayarnya langsung. Dia menawarkan bagaimana kalau ditransfer. Aku menyetujuinya. Karena ATM yang kumiliki tidak sama dengan milinya, nomor rekening temanku segera kukirimkan padanya, tentunya aku sudah izin terlebih dulu kepada pemiliknya.
Hari itu tidak kunjung ia kirim. Aku mulai gelisah. Malamnya dia menghubungiku. Katanya, “besok ya. Maaf tadi aku tidak sempat”.
“Benarkah yang kau ucapkan?”, kataku tidak percaya.
“Iya benar. Aku janji”.
“Baiklah. Aku tidak ingin terulang kembali”, jawabku.
Aku berpesan pada temnaku, agar mengecek tabungannya apakah utangku sudah dibayar. Sore hari, ia mengeceknya. “Dia sudah mengirim”, katanya mengonfirmasi. “Terima kasih”, sahutku singkat.
“Teryata dia bisa dipercaya. Terkadang ucapan janji seorang lelaki lebih bisa dipercaya dari perempuan.”, gumamku setelah mendapat informasi dari temanku pemilik ATM yang sama dengan teman utangku.
Sampai saat ini aku terus menghubungi tiga ratus ku yang masih dalam dompetnya. Terakhir dia bilang akan segera membayarnya. ketika beberapa hari yang telah ia tentukan sendiri, dia tidak menghubungiku sama sekali. Astaghfirullah. Aku mencoba menghubunginya. Tapi jawaban tak pernah kudapat.

Aku lelah. Siapa dia sebenarnya? Aku masih mencatat namanya. Tentu saja tetap menjadi peringkat atas. Dan sewaktu-sewaktu setiap saat aku terus menghubunginya sampai detik ini.

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
    Balasan
    1. benar sekali...
      karena kepercayaan yang mahal pula, apa kita akan memberikannya pada sembarang orang?
      gmn menurut akhi?

      Hapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Hati

Assalamualaikum sahabat semua.. long time no see.. how are you today.. Sudah lama aku tak nge-post tulisan apapun, tapi kini aku ingin men...