Lakonnya,
Secarik Kertas
Secarik kertas yang aku tempel
di tubuh lemari, tepatnya di salah satu sisinya memaksa diriku berpikir keras
untuk menuangkan sutau hal di layar kertas digital ini. Sekalipun aku tak punya
ide, aku memutar otak agar menemukan ide yang pas dan cocok buat ditulis. Tapi
sampai saat ini aku bingung mau menulis apa. Akhirnya aku putuskan menulis
tentang secaraik kertas yang memaksa ku menulis itu.
Sekitar Jumat lalu aku
menempelnya di lemari. Aku pun berusaha dan berkomitmen selalu melakukan apa
yang tertera diatas kertas putih itu. Sebisa mugkin aku akan mencoba. Terus dan
terus. Terkadang aku harus terjaga sampai menginjak pukul sebelas malam.
Biasanya aku jarang tidur sampai jam segitu.
Hanya lima kata
yang
tersusun rapi menjadi sebuah kalimat tanya. Kalimat itu seakan-akan bertanya
padaku. Aku tahu, bahwa yang menulis kalimat itu adalah diriku dengan sadar
sesadar-sadarnya. Akupun sengaja membuat ruang dimana aku harus mampu seperti
yang aku tulis. Bahkan aku berencana untuk berkomitmen melakukannya dan
disiplin. Tetap melakukannya walau harus dengan dipaksa. Tetap melakukannya
walau harus memutar otak memeras pikiran agar ide bisa keluar.
Yah seperti malam ini, aku
memaksa seluruh anggota tubuhku agar mau menuruti pikiranku. Aku mencoba
mendisiplinkannya. Lama-lama aku teringat sesuatu. Yaitu teori yang pernah aku
pelajari. Teorinya berbunyi kurang lebih seperti ini, “struktur yang kita
bentuk sendiri, bisa membuat kita terkekang, kita tidak bisa dan seolah-olah
kita sendiri yang memenjarakan diri kita sendiri. kita terikat oleh struktur
yang kita ciptakan sendiri. jadi, manusia membentuk struktur dan struktur itu
mengikat manusia agar tunduk pada diri struktur itu.” Hanya saja aku sudah lupa
siapa yang mencetuskan teori tersebut. Yang aku ingat beliau ini adalah salah
satu tokoh sosiologi klasik. Namun demikian, hal ini juga menyinggung sedikit
teori yang dikemukakan oleh Mr. Foucault, salah seorang tokoh sosiologi
postmodern, khususnya tentang pendisiplinan diri. Tubuh yang kita miliki ini
dipaksa secara terus menerus diatur dan ‘dipaksa’ oleh struktur yang berlaku.
Dengan kata lain, didisiplinkan untuk mencapai suatu hal tertentu. Begitulah
kiranya.
Seperti halnya secarik
kertas putih yang sengaja aku tempelkan di lemari. Karena aku bukanlah seorang
penganut dari tokoh manapun kecuali nabi Muhammad yang sangat toleran, maka aku
akan mengambil telur dari teori itu dan membuang kotoran yang ditimbulkannya.
Sebuah pepatah mengatakan, “Tidak hanya kotoran yang keluar dari dubur ayam,
melainkan ada telur yang bermanfaat, maka ambillah telur yang bermanfaat itu.”
Oleh karena itu, memang
dengan sengaja aku menempel kertas dan menulis sebuah kalimat diatasnya, agar
kalimat yang aku tulis bisa mengikat diriku sendiri. Kalau memang itu baik,
mengapa tidak?
Aku sudah memikirkan
konsekuensinya. Aku juga sudah menimbang dengan masak-masak resiko yang akan
ditimbulkannya. Tapi aku senang, karena akhirnya aku bisa menjadi lebih
produktif dari aku yang dulu.
Aku pun mulai meracuni
teman-temanku. Agar mereka juga melangkah seprti diriku. Aku mengambil
gambarnya, lalu aku buat foto profil BBM. Tak lupa beberapa kata persuasif
sebagai pemanis. Kemudian aku send.
Biar saja mereka teracuni dengan tulisanku.
Oh iya, sampai sini, apa
sobat bertanya-tanya tentang sebuah kalimat tanya yang tersusun dari lima
kalimat yang aku tulis di atas secarik kertas dan aku tempel itu?
Kalimat tanya itu begini, “Sudahkah
anda menulis hari ini?” Yupps itulah kalimat tanyanya yang membuat ruang
sensasi di otakku. Memaksaku untuk selalu berkomitmen melakukannya. Sedangkan
kalimat persusaif yang aku jadikan pm bunyinya kurang lebih seperti ini, “Menulis
tidak membutuhkan bakat, melainkan butuh latihan.”
Hooaaamm.. sudah dulu ya sob.. udah ngantuk
nih..
Hihihi.. Wassalamualaikum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar