Senin, 25 April 2016

Secarik kertas

Lakonnya, Secarik Kertas

Secarik kertas yang aku tempel di tubuh lemari, tepatnya di salah satu sisinya memaksa diriku berpikir keras untuk menuangkan sutau hal di layar kertas digital ini. Sekalipun aku tak punya ide, aku memutar otak agar menemukan ide yang pas dan cocok buat ditulis. Tapi sampai saat ini aku bingung mau menulis apa. Akhirnya aku putuskan menulis tentang secaraik kertas yang memaksa ku menulis itu.
Sekitar Jumat lalu aku menempelnya di lemari. Aku pun berusaha dan berkomitmen selalu melakukan apa yang tertera diatas kertas putih itu. Sebisa mugkin aku akan mencoba. Terus dan terus. Terkadang aku harus terjaga sampai menginjak pukul sebelas malam. Biasanya aku jarang tidur sampai jam segitu.
Hanya lima kata
yang tersusun rapi menjadi sebuah kalimat tanya. Kalimat itu seakan-akan bertanya padaku. Aku tahu, bahwa yang menulis kalimat itu adalah diriku dengan sadar sesadar-sadarnya. Akupun sengaja membuat ruang dimana aku harus mampu seperti yang aku tulis. Bahkan aku berencana untuk berkomitmen melakukannya dan disiplin. Tetap melakukannya walau harus dengan dipaksa. Tetap melakukannya walau harus memutar otak memeras pikiran agar ide bisa keluar.
Yah seperti malam ini, aku memaksa seluruh anggota tubuhku agar mau menuruti pikiranku. Aku mencoba mendisiplinkannya. Lama-lama aku teringat sesuatu. Yaitu teori yang pernah aku pelajari. Teorinya berbunyi kurang lebih seperti ini, “struktur yang kita bentuk sendiri, bisa membuat kita terkekang, kita tidak bisa dan seolah-olah kita sendiri yang memenjarakan diri kita sendiri. kita terikat oleh struktur yang kita ciptakan sendiri. jadi, manusia membentuk struktur dan struktur itu mengikat manusia agar tunduk pada diri struktur itu.” Hanya saja aku sudah lupa siapa yang mencetuskan teori tersebut. Yang aku ingat beliau ini adalah salah satu tokoh sosiologi klasik. Namun demikian, hal ini juga menyinggung sedikit teori yang dikemukakan oleh Mr. Foucault, salah seorang tokoh sosiologi postmodern, khususnya tentang pendisiplinan diri. Tubuh yang kita miliki ini dipaksa secara terus menerus diatur dan ‘dipaksa’ oleh struktur yang berlaku. Dengan kata lain, didisiplinkan untuk mencapai suatu hal tertentu. Begitulah kiranya.
Seperti halnya secarik kertas putih yang sengaja aku tempelkan di lemari. Karena aku bukanlah seorang penganut dari tokoh manapun kecuali nabi Muhammad yang sangat toleran, maka aku akan mengambil telur dari teori itu dan membuang kotoran yang ditimbulkannya. Sebuah pepatah mengatakan, “Tidak hanya kotoran yang keluar dari dubur ayam, melainkan ada telur yang bermanfaat, maka ambillah telur yang bermanfaat itu.”
Oleh karena itu, memang dengan sengaja aku menempel kertas dan menulis sebuah kalimat diatasnya, agar kalimat yang aku tulis bisa mengikat diriku sendiri. Kalau memang itu baik, mengapa tidak?
Aku sudah memikirkan konsekuensinya. Aku juga sudah menimbang dengan masak-masak resiko yang akan ditimbulkannya. Tapi aku senang, karena akhirnya aku bisa menjadi lebih produktif dari aku yang dulu.
Aku pun mulai meracuni teman-temanku. Agar mereka juga melangkah seprti diriku. Aku mengambil gambarnya, lalu aku buat foto profil BBM. Tak lupa beberapa kata persuasif sebagai pemanis. Kemudian aku send. Biar saja mereka teracuni dengan tulisanku.
Oh iya, sampai sini, apa sobat bertanya-tanya tentang sebuah kalimat tanya yang tersusun dari lima kalimat yang aku tulis di atas secarik kertas dan aku tempel itu?
Kalimat tanya itu begini, “Sudahkah anda menulis hari ini?” Yupps itulah kalimat tanyanya yang membuat ruang sensasi di otakku. Memaksaku untuk selalu berkomitmen melakukannya. Sedangkan kalimat persusaif yang aku jadikan pm bunyinya kurang lebih seperti ini, “Menulis tidak membutuhkan bakat, melainkan butuh latihan.”
Hooaaamm.. sudah dulu ya sob.. udah ngantuk nih..

Hihihi.. Wassalamualaikum.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hati

Assalamualaikum sahabat semua.. long time no see.. how are you today.. Sudah lama aku tak nge-post tulisan apapun, tapi kini aku ingin men...