Temanku Wis-suda
Aku
menyusuri jalanan ketika pukul sepuluh pagi. Cahaya matahari menyilaukan
panasnya. Matahari pun merangkak naik perlahan. Sementara diriku harus
nyengir-nyengir terkena sinarnya. Aku berjalan bersisian dengan seorang
temanku. Hari itu aku mengunjungi teman SMA yang kini sudah wisuda. Sesuai
rencana, aku mengajak teman kos agar menemaniku berjalan menuju UINSA, kampus
tempat wisuda temanku SMA. Lumayan jauh sih, tapi menyenangkan bila berjalan
bersama teman. Toh tidak sekali ini aku berjalan dari kos yang dekat dengan UNESA
menuju UINSA hanya berjalan kaki.
Hari
itu pula aku memakai rok. Meskipun aku bukan mahasiswa UIN, aku ingin memakai
rok bila ke sana. Bukan apa-apa, hanya saja aku merasa di lingkungan dengan
atmosfer yang berbeda
dengan UNESA, kampusku.
Lagipula aku perempuan. Wajar kalau aku memakai rok atau dress.
Berbeda
dengan teman kos ku yang satu ini. Ngampus, ia lebih sering memakai rok atau
kalau memakai celana, yah celana kain yang lumayan longgar. Kalau aku sih
sering pakai celana. Jeans imitasi tapi agak longgar. Kalo ada celana yang
menurutku press aku memakai baju yang agak panjang agar menutupi bagian
pinggul.
Sekitar
setengah sebelas, aku memasuki gerbang UINSA. Disambut dengan para penjual souvenir
yang menjajakan aneka pernak-pernik wisuda. Ada bunga asli hingga
bunga-bungaan, boneka bertema wisuda dari boneka bear hingga boneka Barbie, dan
ada pula gabungan dari mereka, boneka dan bunga-bungaan. Ukurannya pun
bermacam-macam. Ada yang besar, tanggung, hingga yang kecil sekalipun. Ada yang
terbuat dari bahan flannel, dari kain tile, furing, dan macamnya. Ada boneka
laki-laki dan perempuan. Lengkap. Harganya pun beraneka ragam. Bunga-bungaan
ada yang seharga 5000 rupiah hingga puluhan ribu rupiah. Begitu pula bonekanya.
Macam-macam harga.
Selain
penjual pernik wisuda, penjual makanan dan minuman juga ada. Ada lumpia,
pentol, dan semacamnya. Minumannya ada capcin (cappuccino cinta), air mineral,
serta aneka minuman lainnya. Macam-macam rupa.
Pedagang baju
batik, dompet, senter, kacamata juga tidak ketinggalan.
Aku
memilih dua mawar. Pink dan merah. Mawar imitasi. Aku sengaja memilih mawar
ini. Temanku yang wisuda tentu memiliki keinginan sama sepertiku. “Aku tidak
ingin cinta yang seindah dan seharum mawar imitasi.” Itu maksudku. Apalagi
temanku yang satu ini perempuan. Pastinya suka yang namanya bunga. Hanya saja
mungkin ia tidak tahu apa maksud mawar imitasi itu. Aku pun hanya mencoba untuk
menggambarkan perasaannya. Tulisan itu pula sudah aku upload di BBM.
Panasnya
sinar mentari membuatku mencari tempat berteduh. Akhirnya aku dan temanku yang
bernama Lia, duduk-duduk di samping gedung yang menghadap langsung ke jalan.
Hanya saja terhalang oleh lapangan parkir dan pagar dinding yang tinggi. Tentu
saja, selfie dan foto menjadi
pilihan. Angin sedikit berembus menerpa wajah. Butiran pasir kecil-kecil
berlari riang menyambut wajah orang yang menabraknya. Pasir ini membuatku
menyipitkan mata. Tapi si pasir berhasil membuatku mataku pedih. Lia juga
menyipitkan matanya.
Aku
menengok jam di layar ponselku. Pukul sebelas lebih tiga menit. Aku melayangkan
pesan pendek pada temanku satunya, Via namanya. Ia belum juga datang. Padahal
seperempat jam lalu pesannya berkata otewe. Aku merasa bosan. Para wisudawan
belum juga keluar.
Kulihat
rombongan wisudawan bergerombol menuju depan gedung. Mungkin wisudawan sudah
keluar. Aku beranjak berdiri dan mengajak Lia untuk berjalan mendekati gedung.
Ternyata tempatku menunggu tadi agak jauh dari gedung yang ditempati wisuda.
Aku menghubungi Alif. Tut tut tut..
“Halo
assalamualaikum”, suaranya terdengar dari seberang telepon.
Aku langsung
menanyakan keberadaan dirinya. Suaranya hampir tidak terdengar. Maklum disini
gaduh. Wisudawan berhamburan, banyak yang groovie,
dan ada juga yang berlalu lalang mencari mempelai wisuda. Lamat-lamat kudengar suara
Alif, “Di depan pintu C sebelah utara.”
Aku
dan Lia bergerak mendekat ke gedung. Tertulis disana pintu B. Sedangkan aku tak
tahu menahu dimana utara. Intinya pintu C terletak di salah satu sisi pintu B.
Aku bergerak ke kanan. Menyela dan menyibak kerumunan rombongan yang bak lautan
manusia. Sebuah pintu terlihat, pintu A. Aku berbalik arah. Menuju pintu B dan
terus saja menuju pintu C di sebelahnya. Itu Alif. Aku melihatnya dan
melambaikan tangan. Alif melihatku diantara gerombolan para manusia. Ia juga
melambaikan tangannya. Masya Allah, Alif menggunakan toga. Mendekap ijazah dan
sebuah mawar putih. Sepertinya sudah ada temannya yang memberikan bunga lebih
dulu. Aku tetap bisa mengenali wajahnya. Meski make up tebal meramaikan seluruh wajahnya. Balutan jilbab
warna-warninya menawan. Salah satu sisi kepalanya, terdapat bunga-bunga bordir
yang juga indah.
Alif
menjabat tanganku. Cipika cipiki. Rasanya senang sekali. Temanku SMA sudah
wisuda. Rasanya aku ingin cepat menyusul, dan itulah target di tahun ini. Aku
harus wisuda tahun ini. 2016. Aku memperkenalkan Lia pada Alif. Alif menjabat
tangan Lia.
Ponselku
berdering. Pesan masuk. Via menanyakan keberadaanku. Sedetik kemudian aku
terlibat percakapan telepon dengannya. Memandu Via menemukan jalan menuju pintu
C. Beberapa menit, Via telah terlihat olehku. Aku naik selangkah ke pondasi
belakang. Melambaikan tangan ke arahnya. Via celingukan dan akhirnya menemukan
lambaian tanganku. Hampir berlari ia menuju ke arahku. Alif menyambut Via tak
jauh beda denganku. Menjabat tangannya. Lalu cipika cipiki. Aku juga
mengenalkan Lia pada Via.
Sesaat
kami semua terlibat jepret-menjepret serius. Kedua orang tua Alif juga ikut
serta. Hingga bulir air jatuh beberapa dari langit tak kami sadari. Beberapa
teman Alif menghampiri. Foto bersama, lalu pergi lagi. Air yang jatuh semakin
deras. Tapi aku, Via, dan Lia tak peduli dengan air yang jatuh. Begitu pula
rombongan yang berlalu lalang. Sebentar kemudian Alif pamit pulang. Ia mengajakku,
Via, dan Lia ke pondoknya. Terima kasih Alif, tapi maaf beribu maaf, kami tidak
bisa dengan alasan masing-masing. Apalagi aku ndak enak sama Lia juga. Lagipula aku tidak mau merepotkan. Bye
Alif. Kami segera menyusul memakai toga.
Tinggal
kami bertiga. Kami jepret-menjepret serius beberapa menit kemudian sebelum
memutuskan sholat di masjid. Air hujan yang jatuh sudah sama sekali tak
bersisa. Setelah sholat, kami memesan minuman. Capcin. Capcin yang aneh. Stiker
di gerobak seperti bukan capcin lazimnya. Kehabisan pula. Hanya tinggal
beberapa. Kami menghabiskan capcin sambil ngobrol. Lebih banyak aku dan Via.
Maklum lama tak pernah betemu.
Habis
sudah capcin. Lalu kami memburu pentol. Membawanya ke teras depan masjid,
berkumpul dengan rombongan mempelai wisuda lainnya. Sambil meluruskan kaki
sejenak yang sejak tadi ditekuk. Sembari menghabiskan pentol dan sebotol
minuman teh yang dibelikan oleh Via, aku terus saja mengobrol. Lia ikut
menimpali. Tapi ia lebih asyik dengan hapenya. Kirim pesan suara lewat watsap.
Asyik ngobrol, tiba-tiba aku mengenal wajah seorang lelaki yang berjalan di
belakang Via. Tidak ada satu meter. Aku mencoba memanggilnya dengan resiko
salah orang dan semacamnya. Lelaki itu menoleh dan tersenyum. Ia kaget.
Alhamdulillah ternyata tidak salah orang. Ia menyebut namaku, masih kaget.
Selintas, aku melihatnya memakai kemeja putih dan celana hitam layaknya
wisudawan. Aku mengucapkan selamat padanya. Sambil berlalu ia membalasnya
dengan ucapan terima kasih.
Baiklah,
kami bertiga melanjutkan ngobrol. Beberapa menit kemudian, lelaki yang tadi aku
sapa pamit pulang. Tapi ia duduk sebentar dan menyinggung urusan di panti,
tempatku dan dirinya mengajar. Aku hanya tersenyum menanggapinya. “Baru juga
ketemu. Tidak sengaja pula. Malah yang disinggung urusan panti. Coba gitu tanya
‘lagi apa disini?’ atau ‘apa temannya wisuda juga?’ atau semacamnya gitu”,
pikirku. Lalu ia bangkit dan pamit lagi. Bye ..
Aku
kembali ngobrol dengan Lia dan Via. Mungkin sekitar sepuluh menit. Via lebih
dulu pamit pulang. Bye Via. Carefull.. Sementara aku dan Lia masih duduk-duduk
di teras masjid sebelum memutuskan membujuk kaki dan pulang.
Rute
pulang sama dengan rute berangkat. Berjalan kaki pula. Sekitar pukul tiga lebih
aku dan Lia sampai kos. Lia langsung masuk ke kamarnya. Begitu pula diriku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar