Kebetulan
Kah. . ?
Hidup ini bukanlah sebuah
kebetulan. Yah memang, bahkan sebuah kebetulan yang benar-benar kebetulan sekalipun
telah tertulis di lauh mahfudz, begitulah kiranya yang aku baca di akun fanspage
Tere Liye di facebook. Kalau begitu
semua ini bukanlah sebuah kebetlan. Seseorang yang berseliweran dalam hidupku
pun bukanlah suatu kebetulan. Semuanya sudah terencana dan diatur oleh Sang
Maha Skenario. Tidak ada yang meleset dan tak ada yang salah atau bahkan
tertukar.
Aku mulai menganalisis ulang
hidupku kembali. Siapa-siapa yang berseliweran di otakku, hatiku, dan tentu
saja dalam hidupku. Tapi kali ini aku ingin bercerita tentang seseorang. Sebenarnya
aku tidak ingin membahasnya lagi. Biarlah saja apa yang terjadi. Sekarang aku badmood
untuk menceritakannya. Tetapi,
tak apalah. Aku akan menceritakannya. Seseorang yang aku pun juga tidak pernah
menyangka sama sekali. Bahkan terbesit sedikit saja, tidak pernah. Allah
memilihnya sebagai aktor yang pernah aku impikan sejak dulu kala. Tapi mengapa dia?
Apa hanya kebetulan? Bukankah hal yang nampak benar-benar kebetulan sudah
tercatat di lauh mahfudz?
Sebut saja dengan huruf “D”.
Saat itu aku mengunjungi rumah ibu yang pernah aku pilih untuk penelitian.
Kenjeran tepatnya. Aku berkunjung bersama dengan tiga orang temanku. Sehabis
dhuhur sekitar pukul satu lebih, aku diantar temanku menuju angkot yang
membawaku pulang ke Gresik, ke kampung halaman. Aku sudah berencana pulang
setelah berkunjung ke rumah informanku itu.
Langit mendung. Matahari
bersembunyi dibalik tirai abu-abu. Sebagian lagi belahan langit gelap. Guntur
serta petir mulai bersahut-sahutan, tetapi hanya sebentar. Kemudian turun hujan
yang sangat deras. Aku sudah naik angkot menuju angkot selanjutnya yang mangkal
di pasar Turi. Hujan terus turun dengan deras. Mengguyur Surabaya tanpa ampun.
Tiba di pasar Turi, aku meminta sopir agar berhenti. Aku turun dan cepat-cepat
lari menuju tempat teduh sebalah parkir. Tempat ini tetap ramai. Hujan deras
tak mampu menghentikan aktivitas pengunjung. Ada yang keluar dengan membawa
motornya, dan ada juga yang hanya berdiri di tempat teduh. Menunggu hujan reda
dan menuju pangkalan angkot. Sama sepertiku. Aku bersama seorang ibu-ibu menuju
pangkalan angkot dengan ikut ojek payung. Banjir. Jalanan tak kelihatan.
Semuanya tertutup air. Ketika aku menyebrang, air menenggelamkan kakiku sampai
menutupi mata kaki. Aku tetap berjalan. Kemudian aku berpisah dengan ibu-ibu
itu di sebuah angkot. Aku mencari angkot yang berinisial BP bersama adik tukang
ojek payung. Setelah ketemu angkot yang kumaksud, aku memberi ongkos pada adik
tukang ojek payung lalu masuk ke dalam angkot. Berjubel-jubel dengan para
penumpang lain. Tak luput pula barang-barang bawaan yang ikut berjubel. Aku
sulit bergerak. Aku membujuk hatiku untuk sabar sebentar lagi. Sampai
seperempat perjalanan, tak ada tanda-tanda penumpang yang akan turun. Aku
mencoba untuk lebih bersabar. Jalanan macet. Angkot yang aku tumpangi merangkak
sedikit demi sedikit bak siput. Lamat-lamat terdengar azan ashar.
Aku sudah tidak kuat lagi.
Sementara hapeku terus berdering. Beberapa pesan baru. Aku mengabaikannya
sampai aku bisa mengambilnya di saku celana. Aku tidak bisa bergerak. Terhimpit,
berdesak-desakan dengan penumpang lain. Aku pun mulai gerah. Beberaoa menit
kemudian, jalanan lancer kembali. Angkot pun melaju cukup lancar. Aku mengambil
hape dan membalas beberapa pesan yang masuk. Ternyata ibu. Aku pun membalasnya.
Separo perjalanan, beberapa penumpang turun. Angkot lumayan longgar.
Langit mulai gelap. Azan
maghrib terdengar di seantero masjid dan mushola pinggir jalan. Perjalanan
molor hingga satu jam. Beberapa meter lagi aku turun. Aku mengirim pesan pada
ibu, agar bapak menjemputku di gang masuk.
Tepat di gang masuk desa,
aku turun dari angkot. Mencari tempat terlindung untuk berteduh dari hujan
rintik-rintik yang tersisa. Aku mengirim pesan pendek lagi. Aku duduk-duduk
dengan cemas. Kemudian aku melihat seseorang yang kukenal. Aku memanggilnya,
“D, aku ikut.”
“Lho aku ini memang mau jemput kamu, mbak”
“Oh iya ta?” Aku keheranan plus agak salting
sih..
Ya sudah, aku mengikuti “D” menuju
motornya. Aku menolak ketika “D” menyuruhku memakai mantel. Aku sudah terlanjur
basah. Kemudian aku naik di boncengan. Agak susah sih, habis motornya gede.
Tapi aku tetap menjaga agar tidak menyentuhnya. Begitulah ceritanya. Lalu, apa
hubungannya dengan impian sejak dulu?
Dulu aku pernah memimpikan
kalau aku dijemput oleh seseorang yang memakai baju koko dan bersarung, apalagi
sarung hijau bermotif yang aku suka. Saat aku SMA, aku sering nebeng. Jadi sampai-sampai aku
memimpikan hal tersebut.
Ketika “D” menjemputku, aku
memikirkannya. Ibu juga tak berkata apapun sebelumnya, kalau yang menjemputk
adalah “D”, yang rumahnya tetanggaan dengan rumahku. Tidak terlalu jauh dan
tidak terlalu dekat. Aku memang kagum sama “D” yang selalu menyempatkan
waktunya untuk ke masjid. Yah, meskipun “D” masih duduk di bangku SMA kelas
satu.
Waktu itu, aku juga sama
sekali tidak terpikir mimpiku dulu. Baru ketika aku menganalisis, ternyata
persis seperti mimpi itu. Apa ini bentuk terkabulnya? Entahlah.
Sesampai di rumah, ibu hanya
bercerita bahwa bapak tidak bisa menjemput karena ada urusan yang juga
mendesak. Ibu, mau berangkat diba’. Buku arisannya ibuku yang bawa. Ibu
menyuruh saudaraku yang biasa menjemput, tetapi dia ndak berani kalo malam-malam. Maklum perempuan. Apalagi masih hujan
dan jalanan desa pasti gelap. Kemudian atas saran mbak (sebut saja “S”), maka
ibu menyuruh “D” untuk menjemputku. Kata ibu, awalnya juga sungkan, tapi
bagaimana lagi? mbak “S” juga ikut diba’an bareng-bareng dengan ibu. Mbak “S”
ini rumahnya di sebelah rumah “D”. Mungkin masih saudara.
Sekarang, aku tetap ingat
ketika “D” menjemput. Ia memakai koko putih tapi bergaris. Ia masih mengenakan
sarung yang berwarna hijau, hanya saja motifnya kotak-kotak teratur berwarna
putih. Walau tidak sama persis, tapi lumayan mirip dengan mimpiku.
Wallahu
a’lam bis shawwab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar