Kamis, 31 Maret 2016

Pendidik

Anak-anak

Di panti tempatku mengajar, ada dua anak lelaki yang tinggal disana. Mereka sudah kelas dua SMP. Mereka berasal dari Madura. Tepatnya kabupaten Sampang. Dua anak lelaki tersebut mempunyai cerita sendiri-sendiri. Bisa dikata nasib, bisa juga disebut takdir. Mereka sama-sama ditinggal kedua orang tuanya. Baiklah sobat aku akan menceritakannya. Yang pertama sebut saja Fandi sebagai nama samaran. Anak kedua dari dua bersaudara. Kakaknya tidak bekerja alias pengangguran. Kakak Fandi ini harus sekolah di kelas yang mempunyai selisih satu tahun dengan Fandi. Dulu, kalau Fandi kelas 3 SD, kakanya kelas 2 SD. Sebenarnya selisih nya dua tahun. Tapi karena entah apa pasal kepala sekolah menaikkan kakaknya langsung kelas dua. Mungkin agar tidak jauh selisihnya dengan Fandi.
Demi sesuap nasi,
ibunya yang masih gadis pergi ke Malaysia dan bertemu dengan jodohnya. Akhirnya mereka menikah dan lahirlah Fandi. Ketika Fandi kelas 3 SD, bapak dan ibunya pisah alias cerai entah apa sebabnya. Fandi yang masih kecil tidak mengerti. Lalu ibunya menikah lagi dengan seorang lelaki bugis. Lelaki itulah yang kini menjadi bapak tiri Fandi. Bapak tirinya itu membawa dua anak, laki-laki dan perempuan. Jadi jumlah saudara Fandi tambah dua. Totalnya tiga. Satu kakak kandungnya dan dua adik tirinya.
Kemudian ibunya pindah ke Buton bersama bapak dan dua adik tirinya. Sedangkan di Madura, ia tinggal dengan bibinya. Meski demikian orang tua Fandi maish menanyakan kabar tentang anak-anaknya di Madura. Setelah lulus SD, Fandi dipondokkan oleh bibinya yang terletak di daerah sekitar Ampel, Surabaya. Ia bersama Angga yang juga sama-sama mondok.
Iya. Benar sekali sobat. Anak yang kedua itu nama samarannya adalah Angga. Nasibnya pun setali tiga uang sama Fandi. Hanya saja menurut cerita Angga, bapaknya sudah meninggal saat dirinya masih kecil dan ia sendiri pun tidak tahu wajah bapak kandungnya kecuali dalam bingkai foto. Ibunya menikah lagi dengan lelaki asal Surabaya. Kemudian Angga diajak bapak dan ibunya ke Kalimantan untuk mengadu nasib disana. Saat itu Angga kelas 3 SD. Setahun di Kalimantan, Angga dijemput pamannya agar bersedia kembali ke Madura. Angga pun masih kecil, sehingga tidak tahu apa-apa. Akhirnya Angga pulang ikut pamannya ke Madura. Menurut Angga pula, ibunya tidak pernah menghubunginya. Saat aku bertanya apakah kamu ndak kangen sama ibumu, Angga hanya menggelengkan kepala. Ia malah menunjukkan sikap tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi.
Takdir mempertemukan Angga dengan Fandi di sebuah sekolah yang sama dan takdir pula yang mempertemukan mereka berdua dengan salah satu pengurus panti dimana tempatku mengajar. Panti tidak memungut sepeser pun dari anak didiknya yang tinggal di sana. Seperti Angga dan Fandi. Selain itu panti juga menyelenggarakan ngaji gratis bagi anak yatim dan dhuafa dan ini sifatnya umum. Begitulah kiranya cerita mereka. Mereka bercerita tidak runtut, sehingga membuatku kesulitan untuk mengaturnya. Tapi, insya Allah aku sudah menyusunnya dengan benar.
Miris sekali. Saat singgah di kota Surabaya ini, aku banyak mendengar kisah-kisah yang mengharukan. Terutama anak-anak. Banyak anak terlantar gara-gara orang tuanya sendiri yang sudah tidak peduli lagi dengan mereka. Banyak sekali keluarga yang broken home dan tentu saja imbasnya kepada anak-anak. Padahal saat aku melihat mereka, anak-anak yang tak berdosa itu, sebagian besar mereka punya potensi yang bagus. Apabila terus dikembangkan dan diasah, Masya Allah aku tidak bisa membayangkannya. Pastilah luar biasa. Itulah tugas kita semua. Kita yang masih peduli. Mari sama-sama peduli dengan mereka. Mereka butuh uluran tangan kita untuk mendidik dan mengarahkannya. Tentu dengan nilai-nilai moral dan religius. Selain itu, harus dibarengi dengan niat tulus, sabar, dan ikhlas. Wallahu a’lam.


Semoga bermanfaat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hati

Assalamualaikum sahabat semua.. long time no see.. how are you today.. Sudah lama aku tak nge-post tulisan apapun, tapi kini aku ingin men...