Anak-anak
Di panti tempatku mengajar,
ada dua anak lelaki yang tinggal disana. Mereka sudah kelas dua SMP. Mereka
berasal dari Madura. Tepatnya kabupaten Sampang. Dua anak lelaki tersebut mempunyai
cerita sendiri-sendiri. Bisa dikata nasib, bisa juga disebut takdir. Mereka
sama-sama ditinggal kedua orang tuanya. Baiklah sobat aku akan menceritakannya.
Yang pertama sebut saja Fandi sebagai nama samaran. Anak kedua dari dua
bersaudara. Kakaknya tidak bekerja alias pengangguran. Kakak Fandi ini harus
sekolah di kelas yang mempunyai selisih satu tahun dengan Fandi. Dulu, kalau Fandi
kelas 3 SD, kakanya kelas 2 SD. Sebenarnya selisih nya dua tahun. Tapi karena
entah apa pasal kepala sekolah menaikkan kakaknya langsung kelas dua. Mungkin
agar tidak jauh selisihnya dengan Fandi.
Demi sesuap nasi,
ibunya
yang masih gadis pergi ke Malaysia dan bertemu dengan jodohnya. Akhirnya mereka
menikah dan lahirlah Fandi. Ketika Fandi kelas 3 SD, bapak dan ibunya pisah
alias cerai entah apa sebabnya. Fandi yang masih kecil tidak mengerti. Lalu
ibunya menikah lagi dengan seorang lelaki bugis. Lelaki itulah yang kini
menjadi bapak tiri Fandi. Bapak tirinya itu membawa dua anak, laki-laki dan perempuan.
Jadi jumlah saudara Fandi tambah dua. Totalnya tiga. Satu kakak kandungnya dan
dua adik tirinya.
Kemudian ibunya pindah ke Buton
bersama bapak dan dua adik tirinya. Sedangkan di Madura, ia tinggal dengan
bibinya. Meski demikian orang tua Fandi maish menanyakan kabar tentang
anak-anaknya di Madura. Setelah lulus SD, Fandi dipondokkan oleh bibinya yang
terletak di daerah sekitar Ampel, Surabaya. Ia bersama Angga yang juga
sama-sama mondok.
Iya. Benar sekali sobat. Anak
yang kedua itu nama samarannya adalah Angga. Nasibnya pun setali tiga uang sama
Fandi. Hanya saja menurut cerita Angga, bapaknya sudah meninggal saat dirinya
masih kecil dan ia sendiri pun tidak tahu wajah bapak kandungnya kecuali dalam
bingkai foto. Ibunya menikah lagi dengan lelaki asal Surabaya. Kemudian Angga
diajak bapak dan ibunya ke Kalimantan untuk mengadu nasib disana. Saat itu Angga
kelas 3 SD. Setahun di Kalimantan, Angga dijemput pamannya agar bersedia
kembali ke Madura. Angga pun masih kecil, sehingga tidak tahu apa-apa. Akhirnya
Angga pulang ikut pamannya ke Madura. Menurut Angga pula, ibunya tidak pernah menghubunginya.
Saat aku bertanya apakah kamu ndak
kangen sama ibumu, Angga hanya menggelengkan kepala. Ia malah menunjukkan sikap
tidak ingin membahasnya lebih jauh lagi.
Takdir mempertemukan Angga
dengan Fandi di sebuah sekolah yang sama dan takdir pula yang mempertemukan
mereka berdua dengan salah satu pengurus panti dimana tempatku mengajar. Panti
tidak memungut sepeser pun dari anak didiknya yang tinggal di sana. Seperti
Angga dan Fandi. Selain itu panti juga menyelenggarakan ngaji gratis bagi anak yatim
dan dhuafa dan ini sifatnya umum. Begitulah kiranya cerita mereka. Mereka
bercerita tidak runtut, sehingga membuatku kesulitan untuk mengaturnya. Tapi,
insya Allah aku sudah menyusunnya dengan benar.
Miris sekali. Saat singgah
di kota Surabaya ini, aku banyak mendengar kisah-kisah yang mengharukan.
Terutama anak-anak. Banyak anak terlantar gara-gara orang tuanya sendiri yang
sudah tidak peduli lagi dengan mereka. Banyak sekali keluarga yang broken home dan tentu saja imbasnya
kepada anak-anak. Padahal saat aku melihat mereka, anak-anak yang tak berdosa
itu, sebagian besar mereka punya potensi yang bagus. Apabila terus dikembangkan
dan diasah, Masya Allah aku tidak bisa membayangkannya. Pastilah luar biasa.
Itulah tugas kita semua. Kita yang masih peduli. Mari sama-sama peduli dengan
mereka. Mereka butuh uluran tangan kita untuk mendidik dan mengarahkannya.
Tentu dengan nilai-nilai moral dan religius. Selain itu, harus dibarengi dengan
niat tulus, sabar, dan ikhlas. Wallahu
a’lam.
Semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar