Kamis, 28 Januari 2016

Moralitas Di ambang Krisis (Tugas)

Nama   : Sholihatul Muniroh
Matkul : Seminar Pembangunan

Moralitas Di ambang Krisis

Diawali dengan kata pembangunan. Banyak para ilmuwan-ilmuwan mengulas tentang sebelas huruf tersebut. Dari zaman dulu hingga sekarang, pembangunan menjadi hal yang sering didengungkan oleh para pejabat, petinggi, birokrat, teknokrat dan semacamnya. Kata itu seperti memiliki makna sakral yang harus diwujudkan. Para pendiri negara sedang berlomba-lomba mewujudkan di negaranya masing-masing. Kebijakan apapun diberlakukan, kekayaan berapapun dikeluarkan, tidak peduli rakyat miskin, anak terlantar, pedagang kaki lima, pedagang emperan, toko kelontong, rumah-rumah digusur, pedagang asongan diusir atau apapun yang menghalangi jalannya, segera dibumihanguskan sebagai dalih pembangunan.
Pembangunan dianggap sebagai obat mujarab di negara yang sedang berkembang. Para presiden sedang memikirkan
pembangunan seperti apa yang akan dijalankan, jenis pembangunan apa yang cocok, apakah pembangunan ala Rostow, liberal, atau sosialis? Namun sayangnya, mengenai dampak, mereka pasti lebih memihak sisi positif dari pembangunan itu, meski terdapat sisi negatif yang sangat merugikan masyarakat sekitar. Dengan dalih pembangunan mereka membayar ganti rugi atas pembangunan yang akan dijalankan.
Tetapi itu dulu, dulu sekali. Meskipun sekarang masih terjadi, itu hanya melanjutkan pembangunan masa lalu. Saat ini pembangunan lebih terkonsentrasi pada pengolahan sumber daya manusia. Membentuk manusia yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki daya saing yang tinggi. Teknologi semakin canggih dan dibutuhkan orang-orang yang canggih pula dalam kasus ini. Hanya saja ketika teknologi sudah memasuki area negara, khususnya Indonesia banyak mempengaruhi moralitas anak bangsa. Dengan ditemukannya teknologi, permainan tradisional bergeser ke permainan elektronik. Anak-anak balita sudah diperkenalkan dengan gadget canggih, bahkan memiliki gadget sendiri. Anak-anak masa playstage lebih suka membawa tablet, I pad kemana-mana daripada bermain dengan gundukan tanah, becek lumpur, engkle, ular-ularan, petak umpet, bola bekel, dan permainan tradisoinal lainnya.
Memang, dengan adanya teknologi yang canggih, semakin memudahkan untuk berkomunikasi termasuk jarak jauh. Tapi, bagaimana nasib anak-anak yang sejak kecil bermain tablet, I pad, dan sejenisnya. Memang, dengan teknologi pula, penddikan bisa lebih efektif dan efisien. Misalnya, dengan bantuan teknologi, para murid bisa menerima materi belajar dari guru lewat gadget yang mereka punya. Hal ini bisa mempercepat akses penerimaan materi belajar. Namun apakah hal itu bisa menjamin mereka terhindar dari bahaya internet?
Berbicara internet, berarti berbicara tentang kemudahan akses informasi, bahkan masyarakat informasi sudah mulai berdatangan dan bertambah banyak anggotanya. Jaringan yang luas menambah wawasan dan pengetahuan yang semakin luas pula, bahkan dapat menembus batas-batas fisik teritori. Tidak peduli seberapa jauh tempatnya, informasi semakin mudah diakses. Komunikasi jarak jauh menjadi hal yang biasa.
Inti tulisan ini bukan mengulas sejarah teknologi atau macamnya. Bukan. Bukan itu. Melainkan akan membahas dampak dari teknologi yang masih menjadi bagian dari pembangunan masa kini, khususnya pada moralitas yang berada diambang krisis.
Telah disinggung diatas bahwa saat ini pembangunan tidak lagi pada pembangunan banyak-banyak gedung, meski masih terjadi. Melainkan pada sumber daya manusia. Dengan teknologi yang semakin canggih manusia diharapkan mampu untuk mengolah teknologi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada moralitas. Moralitas anak bangsa yang semakin akut, menjadi semakin mengerikan. Moralitas anak bangsa yang mengerikan, kini semakin mengkhawatirkan. Moralitas yang semakin mengkhawatirkan membuat orang tua was-was. Mereka takut dengan generasi penerus yang moralitsnya semakin hari semakin kritis.
Ditandai dengan banyaknya kriminalitas yang kebanyakan tersangka dan korban adalah usia anak-anak, membuat cerita semakin miris. Sangat mengkhawatirkan. Kalau hal itu dibiarkan saja, tanpa ada penanganan apapun, bisa jadi lama-lama penjara seperti tempat penampungan anak. Anak yang bermasalah.
Krisis moralitas tidak hanya menyerang anak-anak. Tetapi juga menyerang seluruh lapisan masyarakat. Dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan hingga orang tua sekalipun. Teknologi mempermudah segalanya. Mengalirkannya pada orang tua dan menular pada anak-anak. Tidak jarang anak-anak sering melihat adegan-adegan yang diperankan oleh sinetron. Entah itu perkelahian, pemerkosaan, atau pelecehan seksual. Sinetron-sinetron yang ditayangkan yang sebenarnya menyasar segmen remaja malah tidak hanya remaja saja yang menyukainya, melainkan diganderungi anak-anak bahkan orang tua. Hal ini tidak menjadi masalah selama tayangan sinetron bernilai positif, tetapi sayangnya produsen film abai akan masalah ini. Entah karena tidak tahu atau tidak mau tahu atau bahkan mereka mempunyai tujuan sendiri dalam memproduksi filmnya. Anak-anak lebih suka menonton televisi daripada membaca buku. Anak-anak lebih suka melihat sinetron atau artis-artis ganteng dan cantik daripada melihat tayangan-tayangan edukatif.
Masalah ini menjadi serius manakala banyak laporan-laporan peristiwa pemerkosaan anak yang dilakukan oleh sebayanya setelah menonton adegan-adegan yang tidak senonoh, anak masuk rumah sakit karena dipukul temannya. Hal itu dilakukan karena mereka mengaku meniru di televisi atau game-game yang mereka miliki di gadgetnya. Mereka bisa mengakses hal itu tanpa batas. Tidak ada yang menghalangi, bahkan batas antar negara pun tak mampu. Terkadang situs-situs itu muncul dengan sendirinya di internet. Situs-situs yang tidak pernah bertanggung jawab.
Durkheim sempat menyinggung masalah moralitas, bahwa tiap lapisan masyarakat mempunyai moralitasnya sendiri-sendiri. Hanya berbeda tingkat dan kadarnya. Bila dikaitkan dengan kasus ini, masyarakat modern juga mempunyai moralitasnya sendiri. Sangat jauh berbeda dengan masyarakat tradisional.
Gaungnya pendidikan berbasis karakter juga sebagai betuk penanganan dari masalah moralitas yang semakin krisis. Karena mereka menganggap hal ini bisa diatasai melalui pendidikan. Akhirnya  kurikulum diubah, berbagai kurikulum dengan berbasis karakter diuji cobakan. Berganti-ganti bahkan belum genap setahun. Para anak didik bingung, mengatakan bahwa pelajaran semakin sulit. Karena itu mereka malas untuk belajar. Para pendidik juga bingung. Anak didiknya semakin tidak mau belajar. Bahkan para pendidik kesulitan dalam kasus pengajaran kurikulum yang baru. Karena hal ini, kurikulum berganti lagi. Diperbarui seterusnya. Sudah seharusnya kurikulum terus diperbarui sesuai dengan perkembangna masyarakat. Hanya saja antara pendidikan sekolah dan pendidikan keluarga mempunyai wilayahnya sendiri-sendiri. Ada hal tertentu yang seharusnya diperoleh melalui pendidikan keluarga. Sementara pendidikan sekolah hanya memberikan pendidikan tambahan agar pendidikan yang diperoleh pun semakin luas dan berkembang.
Akhirnya, muncullah griya-griya parenting, tayangan-tayangan menjadi orang tua yang hebat, dan semacamnya. Program-program parenting mendidik orang tua untuk bisa ‘merawat’ anaknya dengan baik. Sehingga banyak orang tua yang berbondong-bondong untuk ‘sekolah’.
Dari ulasan yang dipaparkan, rasanya tidak adil jika harus membebankan kesalahan ini pada satu pihak saja, melainkan semua pihak harus saling mengoreksi diri masing-masing, termasuk situs-situs yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada yang perlu disalahkan dalam kasus moralitas yang berada diambang krisis. Tulisan ini pun tidak mempersalahkan satu diantaranya. Melainkan hanya mencoba menjelaskan kondisi sekitar secara apa adanya. Dunia semakin maju, dan memang beginilah ia berbicara. Menunjukkan hasil dari kerja keras majikannya dalam menjinakkan alam. Alam tak lagi liar. Petunjuk hidup yang berupa agama tidak mampu lagi untuk menjadi tameng, karena muncul agama lain yatu agama modernitas. Kebanyakan dianut oleh masyarakat yang menganggap dirinya modern. Memfetishkan hedonisme, dan mengabaikan adat istiadat, bahkan mereka yang masih memegang adat istiadat dianggap kolot, tidak modern, dan tidak berkembang.

Sejatinya, kita hidup di era yang serba cepat dan serba instan. Dunia sudah berubah. Memasuki era baru dan zaman baru. Dimana perebutan kekuasaan tidak lagi pada perebutan tanah, atau wilayah perdagangan, melainkan perebutan informasi. Maka dengan tetap memegang teguh nilai-nilai masa lalu sebagai pedoman untuk dijadikan bekal melangkah di masa depan. Membenahi krisis demi krisis yang bermunculan agar tidak sampai pada moralitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hati

Assalamualaikum sahabat semua.. long time no see.. how are you today.. Sudah lama aku tak nge-post tulisan apapun, tapi kini aku ingin men...