Nama : Sholihatul Muniroh
Matkul : Seminar Pembangunan
Moralitas
Di ambang Krisis
Diawali dengan kata pembangunan. Banyak
para ilmuwan-ilmuwan mengulas tentang sebelas huruf tersebut. Dari zaman dulu
hingga sekarang, pembangunan menjadi hal yang sering didengungkan oleh para pejabat,
petinggi, birokrat, teknokrat dan semacamnya. Kata itu seperti memiliki makna
sakral yang harus diwujudkan. Para pendiri negara sedang berlomba-lomba
mewujudkan di negaranya masing-masing. Kebijakan apapun diberlakukan, kekayaan
berapapun dikeluarkan, tidak peduli rakyat miskin, anak terlantar, pedagang
kaki lima, pedagang emperan, toko kelontong, rumah-rumah digusur, pedagang
asongan diusir atau apapun yang menghalangi jalannya, segera dibumihanguskan
sebagai dalih pembangunan.
Pembangunan dianggap sebagai obat
mujarab di negara yang sedang berkembang. Para presiden sedang memikirkan
pembangunan seperti apa yang akan dijalankan, jenis pembangunan apa yang cocok,
apakah pembangunan ala Rostow, liberal, atau sosialis? Namun sayangnya,
mengenai dampak, mereka pasti lebih memihak sisi positif dari pembangunan itu,
meski terdapat sisi negatif yang sangat merugikan masyarakat sekitar. Dengan
dalih pembangunan mereka membayar ganti rugi atas pembangunan yang akan
dijalankan.
Tetapi itu dulu, dulu sekali. Meskipun
sekarang masih terjadi, itu hanya melanjutkan pembangunan masa lalu. Saat ini
pembangunan lebih terkonsentrasi pada pengolahan sumber daya manusia. Membentuk
manusia yang berkualitas, berintegritas, dan memiliki daya saing yang tinggi. Teknologi
semakin canggih dan dibutuhkan orang-orang yang canggih pula dalam kasus ini. Hanya
saja ketika teknologi sudah memasuki area negara, khususnya Indonesia banyak
mempengaruhi moralitas anak bangsa. Dengan ditemukannya teknologi, permainan
tradisional bergeser ke permainan elektronik. Anak-anak balita sudah
diperkenalkan dengan gadget canggih,
bahkan memiliki gadget sendiri. Anak-anak
masa playstage lebih suka membawa tablet, I pad kemana-mana daripada
bermain dengan gundukan tanah, becek lumpur, engkle, ular-ularan, petak umpet,
bola bekel, dan permainan tradisoinal lainnya.
Memang, dengan adanya teknologi yang
canggih, semakin memudahkan untuk berkomunikasi termasuk jarak jauh. Tapi,
bagaimana nasib anak-anak yang sejak kecil bermain tablet, I pad, dan sejenisnya. Memang, dengan teknologi pula,
penddikan bisa lebih efektif dan efisien. Misalnya, dengan bantuan teknologi,
para murid bisa menerima materi belajar dari guru lewat gadget yang mereka punya. Hal ini bisa mempercepat akses penerimaan
materi belajar. Namun apakah hal itu bisa menjamin mereka terhindar dari bahaya
internet?
Berbicara internet, berarti berbicara
tentang kemudahan akses informasi, bahkan masyarakat informasi sudah mulai
berdatangan dan bertambah banyak anggotanya. Jaringan yang luas menambah
wawasan dan pengetahuan yang semakin luas pula, bahkan dapat menembus
batas-batas fisik teritori. Tidak peduli seberapa jauh tempatnya, informasi
semakin mudah diakses. Komunikasi jarak jauh menjadi hal yang biasa.
Inti tulisan ini bukan mengulas sejarah
teknologi atau macamnya. Bukan. Bukan itu. Melainkan akan membahas dampak dari
teknologi yang masih menjadi bagian dari pembangunan masa kini, khususnya pada
moralitas yang berada diambang krisis.
Telah disinggung diatas bahwa saat ini
pembangunan tidak lagi pada pembangunan banyak-banyak gedung, meski masih
terjadi. Melainkan pada sumber daya manusia. Dengan teknologi yang semakin canggih
manusia diharapkan mampu untuk mengolah teknologi tersebut. Hal ini sangat
berpengaruh pada moralitas. Moralitas anak bangsa yang semakin akut, menjadi
semakin mengerikan. Moralitas anak bangsa yang mengerikan, kini semakin
mengkhawatirkan. Moralitas yang semakin mengkhawatirkan membuat orang tua
was-was. Mereka takut dengan generasi penerus yang moralitsnya semakin hari semakin
kritis.
Ditandai dengan banyaknya kriminalitas
yang kebanyakan tersangka dan korban adalah usia anak-anak, membuat cerita
semakin miris. Sangat mengkhawatirkan. Kalau hal itu dibiarkan saja, tanpa ada
penanganan apapun, bisa jadi lama-lama penjara seperti tempat penampungan anak.
Anak yang bermasalah.
Krisis moralitas tidak hanya menyerang
anak-anak. Tetapi juga menyerang seluruh lapisan masyarakat. Dari anak-anak,
remaja, dewasa, bahkan hingga orang tua sekalipun. Teknologi mempermudah segalanya.
Mengalirkannya pada orang tua dan menular pada anak-anak. Tidak jarang
anak-anak sering melihat adegan-adegan yang diperankan oleh sinetron. Entah itu
perkelahian, pemerkosaan, atau pelecehan seksual. Sinetron-sinetron yang
ditayangkan yang sebenarnya menyasar segmen remaja malah tidak hanya remaja
saja yang menyukainya, melainkan diganderungi anak-anak bahkan orang tua. Hal
ini tidak menjadi masalah selama tayangan sinetron bernilai positif, tetapi
sayangnya produsen film abai akan masalah ini. Entah karena tidak tahu atau tidak
mau tahu atau bahkan mereka mempunyai tujuan sendiri dalam memproduksi filmnya.
Anak-anak lebih suka menonton televisi daripada membaca buku. Anak-anak lebih
suka melihat sinetron atau artis-artis ganteng dan cantik daripada melihat
tayangan-tayangan edukatif.
Masalah ini menjadi serius manakala
banyak laporan-laporan peristiwa pemerkosaan anak yang dilakukan oleh sebayanya
setelah menonton adegan-adegan yang tidak senonoh, anak masuk rumah sakit karena
dipukul temannya. Hal itu dilakukan karena mereka mengaku meniru di televisi atau
game-game yang mereka miliki di gadgetnya. Mereka bisa mengakses hal itu
tanpa batas. Tidak ada yang menghalangi, bahkan batas antar negara pun tak
mampu. Terkadang situs-situs itu muncul dengan sendirinya di internet.
Situs-situs yang tidak pernah bertanggung jawab.
Durkheim sempat menyinggung masalah
moralitas, bahwa tiap lapisan masyarakat mempunyai moralitasnya
sendiri-sendiri. Hanya berbeda tingkat dan kadarnya. Bila dikaitkan dengan
kasus ini, masyarakat modern juga mempunyai moralitasnya sendiri. Sangat jauh
berbeda dengan masyarakat tradisional.
Gaungnya pendidikan berbasis karakter
juga sebagai betuk penanganan dari masalah moralitas yang semakin krisis. Karena
mereka menganggap hal ini bisa diatasai melalui pendidikan. Akhirnya kurikulum diubah, berbagai kurikulum dengan
berbasis karakter diuji cobakan. Berganti-ganti bahkan belum genap setahun.
Para anak didik bingung, mengatakan bahwa pelajaran semakin sulit. Karena itu mereka
malas untuk belajar. Para pendidik juga bingung. Anak didiknya semakin tidak
mau belajar. Bahkan para pendidik kesulitan dalam kasus pengajaran kurikulum
yang baru. Karena hal ini, kurikulum berganti lagi. Diperbarui seterusnya.
Sudah seharusnya kurikulum terus diperbarui sesuai dengan perkembangna
masyarakat. Hanya saja antara pendidikan sekolah dan pendidikan keluarga
mempunyai wilayahnya sendiri-sendiri. Ada hal tertentu yang seharusnya
diperoleh melalui pendidikan keluarga. Sementara pendidikan sekolah hanya memberikan
pendidikan tambahan agar pendidikan yang diperoleh pun semakin luas dan
berkembang.
Akhirnya, muncullah griya-griya parenting, tayangan-tayangan menjadi
orang tua yang hebat, dan semacamnya. Program-program parenting mendidik orang
tua untuk bisa ‘merawat’ anaknya dengan baik. Sehingga banyak orang tua yang
berbondong-bondong untuk ‘sekolah’.
Dari ulasan yang dipaparkan, rasanya
tidak adil jika harus membebankan kesalahan ini pada satu pihak saja, melainkan
semua pihak harus saling mengoreksi diri masing-masing, termasuk situs-situs
yang tidak bertanggung jawab. Tidak ada yang perlu disalahkan dalam kasus
moralitas yang berada diambang krisis. Tulisan ini pun tidak mempersalahkan
satu diantaranya. Melainkan hanya mencoba menjelaskan kondisi sekitar secara
apa adanya. Dunia semakin maju, dan memang beginilah ia berbicara. Menunjukkan
hasil dari kerja keras majikannya dalam menjinakkan alam. Alam tak lagi liar. Petunjuk
hidup yang berupa agama tidak mampu lagi untuk menjadi tameng, karena muncul
agama lain yatu agama modernitas. Kebanyakan dianut oleh masyarakat yang
menganggap dirinya modern. Memfetishkan
hedonisme, dan mengabaikan adat istiadat, bahkan mereka yang masih memegang
adat istiadat dianggap kolot, tidak modern, dan tidak berkembang.
Sejatinya, kita hidup di era yang serba
cepat dan serba instan. Dunia sudah berubah. Memasuki era baru dan zaman baru. Dimana
perebutan kekuasaan tidak lagi pada perebutan tanah, atau wilayah perdagangan,
melainkan perebutan informasi. Maka dengan tetap memegang teguh nilai-nilai
masa lalu sebagai pedoman untuk dijadikan bekal melangkah di masa depan.
Membenahi krisis demi krisis yang bermunculan agar tidak sampai pada moralitas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar