Tertawa, Nasi Goreng dan Hujan
Malam itu, aku dan
kedua temanku merasa lapar. Aku berpikir hanya aku dan temanku sajalah yang
merasa lapar, tapi ternyata teman-teman yang lain merasakan hal yang sama. Lalu
kucoba mengikuti teman-teman yang lain pergi ke warung di pasar.
Pasar itu masih buka di
malam- malam seperti ini, namun hanya sebagian warung di depan pasar saja yang
buka.
Jarak
dari sekolah sampai pasar tidak begitu jauh, sehingga cukup dengan berjalan
kaki. Toh teman-teman yang lain juga berjalan kaki. Tapi
ada pula yang naik motor atau sepeda ontel.
Beberapa
menit kemudian, sampailah di depan pasar. Ramai. Apalagi penjual makanan. Laris
manis. Ada nasi goreng, soto, sate, penyetan, dan menu-menu lain yang tidak
mungkin aku sebutkan satu per satu
.
Aku, Leni dan Desi memilih
menu nasi goreng. Leni
yang memesan. Tiga bungkus nasi goreng. Sementara, aku
dan Desi duduk-duduk di kursi yang disediakan oleh warung.
Sekitar
lima belas menit, nasi goreng siap dibawa kembali ke sekolah. Teman-teman yang
lain juga sudah ada yang kembali ke sekolah. Tapi ada juga yang masih menunggu
pesanan.
Di perjalanan, kami berpapasan dengan Bella, teman kami juga. Ia menawarkan sepeda
ontel yang dibawanya kepada kami. Sementara Bella sendiri mau nebeng teman yang
lainnya. Akhirnya kami menerima tawaran Bella.
Kami
pun naik sepeda ontel bertiga. Leni yang membonceng.
Sedangkan aku dan
Desi duduk di boncengan. Aku duduk di tengah dan Desi di belakang. Aku
tak mengerti bagaimana perasaan sepeda ontel yang rem nya ngadat itu
dinaiki oleh kami bertiga. Tapi tak
perlu khawatir. Asal di tangan Leni, semua pasti beres.
Di tengah perjalanan, tepatnya di depan
kantor polisi, hawa dingin menusuk
disertai beberapa butir air langit menetes. Gerimis. Lama-lama menjadi hujan
yang amat deras.
Angin pun berembus begitu kencang. Leni langsung melengoskan sepeda ke
teras ruko
yang berada tidak jauh dari kantor
polisi. Kami menggigil disana.
Selain
kami, ada juga orang yang berteduh, sepasang
suami istri dan anaknya. Mereka baru
datang lima menit setelah kami.
Kami bingung harus berbuat
apa. Takutnya,
bapak ibu guru mencari. Kalau nekat kembali ke sekolah, kami takut. Hujan
turun dengan derasnya. Petir menyambar tanpa ampun.
Tiba-tiba aku dan Leni yang masih
sepupu, sepertinya mengenali suara sepeda yang terdengar dari jauh.
“Itu suara motor bang Amin”, celetuk Leni.
aku mengiyakan perkataanya. Tanpa dipandu dan berpikir dua kali, aku
dan Leni berteriak-teriak
memanggil bang
Amin.
“Bang Amin.. bang Amin..” Sia-sia. Suaraku kalah
dengan air hujan.
Lalu aku diam,
memikirkan sesuatu.
“Eh, mungkinkah
itu bang Amin?”, tanyaku menatap Leni dan Desi.
Kami serempak
tertawa. Lebih tepatnya menertawai diri kami sendiri. Terlebih pada Desi yang
ikut-ikutan memanggil bang Amin. Padahal ia sama sekali tak mengenalnya. Bang
Amin terhitung masih saudara denganku dan Leni. Kami tidak bisa berhenti untuk tidak tertawa.
Lihatlah, Desi sampai memegangi perutnya untuk menahan tawa. Tapi tak mempan.
Lima
menit. Hujan bertambah deras dan tak ada
tanda-tanda reda, kami berinisiatif untuk
kembali ke sekolah dengan meminjam payung.
Di sebelah ruko, tempat kami berteduh terdapat sebuah
rumah yang diduga pemilik ruko ini. Kami meminjam payung pada penghuni rumah
itu. Penghuni rumah yang baik meminjamkan payungnya pada kami.
Lalu,
tak banyak bicara lagi, kami kembali ke sekolah
menerobos hujan dengan payung dan sepeda ontel. Kami kembali ke posisi
semula. Leni yang menggonceng.
Aku
dan Desi duduk di boncengan. Aku di
bagian tengah mendapat tugas membawa kantong plastik yang berisi tiga bungkus
nasi goreng. Sementara Desi, bertugas memegangi payung dari belakang. Payung yang
dibawanya oleng kanan kiri, kadang pula oleng ke depan hingga menimbulkan Leni
protes, tidak bisa melihat jalanan di depan. Pula oleng ke belakang, yang
membuat Leni kehujanan.
Hujan
tetap turun dengan deras, tak berkurang walau semili. Kami tetap melaju. Leni
berusaha mengayuh sepeda di tengah hujan. Menjaga agar laju sepeda tetap
stabil. Tak jarang, Leni memelankan laju sepeda karena takut menabrak atau
tertabrak kendaraan lain yang melintas. Remnya masih ngadat.
Sepanjang
perjalanan, kami masih tertawa dengan keadaan kami yang ‘mengenaskan.’ Celana
positif basah. Beberapa bagian baju pun basah.
Kami
kesulitan untuk bisa berhenti tertawa. Lihatlah, bungkusan nasi goreng yang
kubawa tak sengaja diduduki sebentar oleh Leni saat menaikkan pantatnya di sadel
sepeda. Aku menyuruh Leni untuk berdiri lagi dan cepat-cepat menarik bungkusan
nasi goreng dari sadel. Sementara, Desi sibuk dengan payungnya. Ia masih
tertawa hingga payungnya semakin oleng tak karuan. Kanan-kiri, depan-belakang
yang menimbulkan Leni protes lagi.
Beberapa
menit kemudian, kami sampai di depan sekolah. Namun tetap tak bisa berhenti tertawa. Saking
kerasnya tertawa,
aku tak kuasa menahannya. Aku positif ngompol alias kencing di celana yang
basah.
Setiba di sekolah,
kulihat teman-teman banyak
yang nimbrung di pelataran. Ada juga yang baru selesai makan. Kami pun langsung
membuka bungkusan nasi goreng dan melahapnya dengan
cepat. Selesai makan,
aku bergegas menuju kamar
kecil untuk membersihkan celana.
Baju ku basah. Apalagi
Leni, lengan bajunya basah kuyup, maklum dia yang membonceng. Jadi kebagian porsi payung
sedikit.
Kemudian
terdengar
suara bapak guru yang menyerukan
kepada seluruh murid untuk secepatnya bergegas ke mushola, karena sudah
waktunya sholat isya. Aku, Leni dan Desi segera
memenuhi pangggilanNya. Kami berlari kecil menuju mushola sambil menahan tawa.
“Mbak
ioh, Aku mau nyetrika. Pindahlah ke atas kasur”. Suara mbah Coco mengagetkanku. Seketika lamunanku buyar. Tanpa sepatah
kata pun aku naik ke atas kasur.
Mbah
Coco adalah teman kos ku sekarang. Sejak menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, aku nge-kos,
dan mbah Coco adalah teman sekamarku. Aku memanggilnya mbah Coco. Memang sengaja aku
menyematkannya. Nama itu muncul begitu saja ketika bercanda. Sedangkan Coco
sendiri adalah nama panggilan imutnya.
Semenjak kuliah itu pula, aku sering mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah kualami
dengan teman-teman SMP atau SMA dulu. Tak jarang aku
menitikkan air mata atau senyum-senyum sendiri, bila teringat kenangan masa
lalu. Kenangan yang seharusnya disimpan dan suatu saat nanti, ceritakanlah pada
anak cucu. Mereka berhak mendengarnya, sebagai bekal dan pembelajaran bagi
kehidupan mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar