Selasa, 01 Desember 2015

Tertawa, Nasi Goreng dan Hujan

Malam itu, aku dan kedua temanku merasa lapar. Aku berpikir hanya aku dan temanku sajalah yang merasa lapar, tapi ternyata teman-teman yang lain merasakan hal yang sama. Lalu kucoba mengikuti teman-teman yang lain pergi ke warung di pasar.
Pasar itu masih buka di malam- malam seperti ini, namun hanya sebagian warung di depan pasar saja yang buka.
Jarak dari sekolah sampai pasar tidak begitu jauh, sehingga cukup dengan berjalan kaki. Toh teman-teman yang lain juga berjalan kaki. Tapi ada pula yang naik motor atau sepeda ontel.
Beberapa menit kemudian, sampailah di depan pasar. Ramai. Apalagi penjual makanan. Laris manis. Ada nasi goreng, soto, sate, penyetan, dan menu-menu lain yang tidak mungkin aku sebutkan satu per satu
.
Aku, Leni dan Desi memilih menu nasi goreng. Leni yang memesan. Tiga bungkus nasi goreng. Sementara, aku dan Desi duduk-duduk di kursi yang disediakan oleh warung.
Sekitar lima belas menit, nasi goreng siap dibawa kembali ke sekolah. Teman-teman yang lain juga sudah ada yang kembali ke sekolah. Tapi ada juga yang masih menunggu pesanan.
Di perjalanan, kami berpapasan dengan Bella, teman kami juga. Ia menawarkan sepeda ontel yang dibawanya kepada kami. Sementara Bella sendiri mau nebeng teman yang lainnya. Akhirnya kami menerima tawaran Bella.
Kami pun naik sepeda ontel bertiga. Leni yang membonceng. Sedangkan aku dan Desi duduk di boncengan. Aku duduk di tengah dan Desi di belakang. Aku tak mengerti bagaimana perasaan sepeda ontel yang rem nya ngadat itu dinaiki oleh kami bertiga. Tapi tak perlu khawatir. Asal di tangan Leni, semua pasti beres.
Di tengah perjalanan, tepatnya di depan kantor polisi, hawa dingin menusuk disertai beberapa butir air langit menetes. Gerimis. Lama-lama menjadi hujan yang amat deras. Angin pun berembus begitu kencang. Leni langsung melengoskan sepeda ke teras ruko yang berada tidak jauh dari kantor polisi. Kami menggigil disana.
Selain kami, ada juga orang yang berteduh, sepasang suami istri dan anaknya. Mereka baru datang lima menit setelah kami.
Kami bingung harus berbuat apa. Takutnya, bapak ibu guru mencari. Kalau nekat kembali ke sekolah, kami takut. Hujan turun dengan derasnya. Petir menyambar tanpa ampun.
Tiba-tiba aku dan Leni yang masih sepupu, sepertinya mengenali suara sepeda yang terdengar dari jauh.
“Itu suara motor bang Amin”, celetuk Leni. aku mengiyakan perkataanya. Tanpa dipandu dan berpikir dua kali, aku dan Leni berteriak-teriak memanggil bang Amin.
“Bang Amin.. bang Amin..” Sia-sia. Suaraku kalah dengan air hujan.
Lalu aku diam, memikirkan sesuatu.
“Eh, mungkinkah itu bang Amin?”, tanyaku menatap Leni dan Desi.
Kami serempak tertawa. Lebih tepatnya menertawai diri kami sendiri. Terlebih pada Desi yang ikut-ikutan memanggil bang Amin. Padahal ia sama sekali tak mengenalnya. Bang Amin terhitung masih saudara denganku dan Leni. Kami tidak bisa berhenti untuk tidak tertawa. Lihatlah, Desi sampai memegangi perutnya untuk menahan tawa. Tapi tak mempan.
Lima menit. Hujan bertambah deras dan tak ada tanda-tanda reda,  kami berinisiatif untuk kembali ke sekolah dengan meminjam payung. Di sebelah ruko, tempat kami berteduh terdapat sebuah rumah yang diduga pemilik ruko ini. Kami meminjam payung pada penghuni rumah itu. Penghuni rumah yang baik meminjamkan payungnya pada kami.
Lalu, tak banyak bicara lagi, kami kembali ke sekolah menerobos hujan dengan payung dan sepeda ontel. Kami kembali ke posisi semula. Leni yang menggonceng. Aku dan Desi duduk di boncengan. Aku di bagian tengah mendapat tugas membawa kantong plastik yang berisi tiga bungkus nasi goreng. Sementara Desi, bertugas memegangi payung dari belakang. Payung yang dibawanya oleng kanan kiri, kadang pula oleng ke depan hingga menimbulkan Leni protes, tidak bisa melihat jalanan di depan. Pula oleng ke belakang, yang membuat Leni kehujanan.
Hujan tetap turun dengan deras, tak berkurang walau semili. Kami tetap melaju. Leni berusaha mengayuh sepeda di tengah hujan. Menjaga agar laju sepeda tetap stabil. Tak jarang, Leni memelankan laju sepeda karena takut menabrak atau tertabrak kendaraan lain yang melintas. Remnya masih ngadat.
Sepanjang perjalanan, kami masih tertawa dengan keadaan kami yang ‘mengenaskan.’ Celana positif basah. Beberapa bagian baju pun basah.
Kami kesulitan untuk bisa berhenti tertawa. Lihatlah, bungkusan nasi goreng yang kubawa tak sengaja diduduki sebentar oleh Leni saat menaikkan pantatnya di sadel sepeda. Aku menyuruh Leni untuk berdiri lagi dan cepat-cepat menarik bungkusan nasi goreng dari sadel. Sementara, Desi sibuk dengan payungnya. Ia masih tertawa hingga payungnya semakin oleng tak karuan. Kanan-kiri, depan-belakang yang menimbulkan Leni protes lagi.
Beberapa menit kemudian, kami sampai di depan sekolah. Namun tetap tak bisa berhenti tertawa. Saking kerasnya tertawa, aku tak kuasa menahannya. Aku positif ngompol alias kencing di celana yang basah.
Setiba di sekolah, kulihat teman-teman banyak yang nimbrung di pelataran. Ada juga yang baru selesai makan. Kami pun langsung membuka bungkusan nasi goreng dan melahapnya dengan cepat. Selesai makan, aku bergegas menuju kamar kecil untuk membersihkan celana. Baju ku basah. Apalagi Leni, lengan bajunya basah kuyup, maklum dia yang membonceng. Jadi kebagian porsi payung sedikit.
Kemudian terdengar suara bapak guru yang menyerukan kepada seluruh murid untuk secepatnya bergegas ke mushola, karena sudah waktunya sholat isya. Aku, Leni dan Desi segera memenuhi pangggilanNya. Kami berlari kecil menuju mushola sambil menahan tawa.
“Mbak ioh, Aku mau nyetrika. Pindahlah ke atas kasur”. Suara mbah Coco mengagetkanku. Seketika lamunanku buyar. Tanpa sepatah kata pun aku naik ke atas kasur.
Mbah Coco adalah teman kos ku sekarang. Sejak menginjakkan kaki di bangku perkuliahan, aku nge-kos, dan mbah Coco adalah teman sekamarku. Aku memanggilnya mbah Coco. Memang sengaja aku menyematkannya. Nama itu muncul begitu saja ketika bercanda. Sedangkan Coco sendiri adalah nama panggilan imutnya.
Semenjak kuliah itu pula, aku sering mengingat peristiwa-peristiwa yang pernah kualami dengan teman-teman SMP atau SMA dulu. Tak jarang aku menitikkan air mata atau senyum-senyum sendiri, bila teringat kenangan masa lalu. Kenangan yang seharusnya disimpan dan suatu saat nanti, ceritakanlah pada anak cucu. Mereka berhak mendengarnya, sebagai bekal dan pembelajaran bagi kehidupan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Hati

Assalamualaikum sahabat semua.. long time no see.. how are you today.. Sudah lama aku tak nge-post tulisan apapun, tapi kini aku ingin men...